Ayah

3 2 0
                                    

Ayah adalah pahlawan pertama bagi anak laki lakinya, dan cinta pertama bagi anak perempuannya. Sebuah ungkapan klise yang selalu banyak orang bicarakan ketika menceritakan betapa mereka mengagumi ayah mereka. Namun itu tidak berlaku bagi beberapa orang. Termasuk aku.

    Bagiku, ayah adalah penjahat yang pertama kali kulihat dalam hidup. Bukan saja kejam. Ayah juga sangat menakutkan. Ayah selalu memukulku karena hal sepele. Seperti saat aku tidak sengaja memecahkan gelas. Atau menjatuhkan pot bunga. Ayah juga jarang sekali di rumah. Dia selalu pulang larut malam. Ia tak punya waktu sama sekali untuk bermain denganku.

    Ayah juga adalah orang yang pertama kali membuatku merasakan benci yang tak tertahankan. Mata ayah yang membara ketika memarahiku membuatku takut dan juga merasakan benci yang teramat sangat. Apalagi saat ayah memarahi ibu. Bukankah ayah mencintai ibu? Bukankah dia harusnya menyayangi ibu. Namun kenapa ibu selalu dipukuli ketika ibu melakukan kesalahan. Ayah juga selalu membentak ibu dengan keras. Hatiku terluka melihat ibu yang selalu menderita. Aku selalu bersumpah setiap malam, besar nanti aku akan menjadi orang hebat. Dan aku tak akan pernah menjadi seperti ayah. Suatu hari nanti aku akan pergi dan meninggalkan ayah bersama ibu.

    Sejak kecil aku tumbuh dengan kebencian dan ketakutan. Karena itu aku selalu berusaha keras dalam meraih cita citaku dan menjadi orang besar saat dewasa nanti. Aku selalu belajar mati matian agar aku mendapatkan nilai terbaik. Melupakan semua kesenangan yang seharusnya dinikmati anak sekolah. seperti bermain bersama teman teman. Atau sekedar menikmati makan siang bersama. semua itu aku tinggalkan dan aku ganti dengan membaca buku di perpustakaan.

    Hingga waktu berlalu dengan cepat. Usiaku tujuh belas tahun dan akan segera lulus sekolah menengah atas. Aku mulai bersiap untuk ujian masuk universitas. Aku semakin keras belajar. Aku harus segera meraih apa yang kuinginkan dan pergi jauh dari ayah sialan itu.

    Saat itu hari cerah. Aku mendapat kabar baik. Aku berhasil lulus dan masuk ke universitas yang kuinginkan. Dengan nilai sempurna. Namun, aku tidak senang sama sekali hari itu. Aku tidak tertawa atau bersorak saat mendapat kabar itu. Karena malam tadi, ibuku  meregang nyawa di rumah sakit. Kepala ibu yang beberapa kali dibenturkan oleh ayah ternyata mengalami kerusakan parah akibat benturan itu. Hampir seminggu ibu dirawat dan setiap hari keadaan ibu semakin memburuk. Hingga pada pukul satu dini hari tadi, ibu mati dihadapanku.

    Aku lihat ayah yang terduduk di samping nisan ibu. Ia tak menangis. Hanya duduk dan berdiam diri. ingin sekali aku memukulnya hari ini. aku ingin membalas semua luka ibu yang disebabkan olehnya. Kenapa harus ibu yang mati!? Kenapa tidak dia saja?! Batinku berteriak. 

    Setelah itu keputusanku bulat. Aku akan pergi dari ayah. aku akan melupakan masa kecilku yang kelam. Aku akan lupakan lebam lebam di tubuh ibu yang digoreskan ayah waktu itu. Aku akan lupakan semuanya dan menjadi diriku sendiri. Aku akan hidup sesuai dengan keinginanku sendiri. Meraih apapun yang ingin kuraih. Tidak ada lagi ayah. aku masih terbayang wajah marah ayah dengan matanya yang menakutkan. Dan bersumpah bahwa dia tidak akan berurusan lagi denganku.

***

    Delapan tahun kemudian.

    Aku berhasil lulus dari universitas dengan nilai sempurna. Dengan bekal pengetahuan dan tekad yang kuat aku berhasil membangun sebuah perusahaan besar di ibukota. Beberapa kali wajahku masuk koran dan majalah. Kini aku telah melupakan semua rasa sakit yang dahulu aku derita. Menjadi orang hebat seperti yang aku cita citakan. Dan pergi jauh dari masa lalu. membangun masa depan yang menjanjikan.

    Matahari sudah berada di ufuk timur saat aku berjalan di trotoar. Sebuah ambulans berlalu dengan kencang. Sirinenya memekakkan telinga. Karena itu adalah hal lumrah, aku tak menghiraukannya. Meski batinku masih bertanya. siapa orang malang yang akan naik mobil itu. 

    Namun mobil itu berhenti tak jauh dari tempatku sekarang berjalan. Di depan sana ada banyak orang berekerumun. Polisi juga telah sampai. Aku menghampiri tempat itu. Dan berbicara dengan seorang polisi. 

    Polisi itu mengatakan bahwa ada seorang pria malang yang tertabrak truk. Pria itu menyebrang tiba tiba tanpa memperhatikan sekitar sebelum akhirnya ditabrak dengan keras. Wajahnya rusak dan tak bisa dikenali lagi. namun ada yang aneh.

    Pria itu memegang sebuah potongan koran. Potongan koran itu seperti sudah lama sekali disimpan. Dan disana, ada sebuah foto dan artikel. Ternyata artikel itu tentangku. Polisi melihatkannya padaku. Koran itu kini berlumur darah, namun tak salah lagi bahwa foto itu adalah aku.

    Lalu seorang polisi lagi menghampiriku. Dia berkata bahwa ditemukan kartu identitas miliki pria malang itu. 

    Aku terkejut bukan main. Seperti seberkas guntur baru saja menyambarku. Aku merasakan ketakutan yang dahulu kurasakan kembali. Namun dengan rasa yang berkali kali lipat. Aku tidak ingin mempercayainya. Ini tidak mungkin… 

    Aku terduduk seketika. Aku hampiri mayat yang terbujur kaku itu. Aku memeluknya. Tak peduli seberapa sakit aku menderita dahulu. Aku ingin sekali saja, berterima kasih. Karena dengan rasa takut dan kebencian itu. Aku menjadi diriku yang hari ini.

    Kumohon, sebentar saja. Aku ingin berterima kasih padamu. Ayah.

HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang