Udara mulai dingin saat aku tiba di pemakaman kota. Matahari sudah berada di ujung cakrawala. Aku sengaja berangkat saat menjelang malam. Agar tidak banyak orang yang memperhatikan keberadaanku disini. Aku tidak ingin merasa canggung oleh keberadaan orang lain jika hari ini aku harus menangis. Meski dengan sekuat tenaga aku akan menahannya.
Disini, dihadapanku. Terdapat tiga nisan yang berjajar. Disana terbaring tiga adikku yang manis. Mereka adalah rana, rika, dan alya. Tepat sepuluh tahun sejak mereka meninggal. Kepergian mereka bukan saja membuatku merasakan rasa sakit sebab kehilangan. Tapi juga rasa perih sebab rasa bersalah.
Disini, dihadapan langit menuju malam. Aku akan mengenang kejadian itu. Kejadian sepuluh tahun lalu yang takkan pernah bisa kulupakan. Memori tentang kejadian itu selalu berputar layaknya sebuah film yang jahil sekali mengganggu tidurku setiap malam. Aku takkan bisa melupakan merah dan hitam dalam kilasan memori itu.
Hari itu adalah hari yang indah. Langit cerah dengan awan putih berkeliaran. Di rumah besar kami. Hanya ada kami berempat. Ibu dan ayah selalu sibuk bekerja. Dan tugas menjaga adik adikku merupakan kewajibanku sebagai anak sulung.
Seperti biasa di siang hari kami selalu menonton televisi bersama. Kartun kesukaan kami sedang tayang. Kami tertawa bersama saat melihat adegan lucu di kartun itu. Namun tiba tiba terdengar suara gaduh dari depan rumah kami. Rumah kami terletak jauh dari pemukiman penduduk. Jadi saat terdengar kegaduhan sudah pasti terjadi sesuatu. Meski di depan ada dua orang penjaga, aku harus tetap waspada.
Saat aku hendak memastikan apa yang terjadi, tiba tiba pintu didobrak dengan keras. Aku refleks kembali dan melindungi adik adikku yang ketakutan. Dari balik pintu itu keluar enam orang dengan senjata teracung kearah kami. Aku menggigil ketakutan. Sambil memeluk tiga adikku aku berdoa semoga keberuntungan berpihak pada kami.
Ternyata mereka adalah perampok! mereka mengikat kami dan membuat kami diam tak bisa berbuat apa apa. Adikku yang ketakutan terlihat ingin menangis. Terutama alya adikku yang paling kecil. Melihat mereka ketakutan membuatku merasa sedih. Aku merasa gagal menjaga mereka.
Namun tak cukup disana. Ketakutanku semakin memuncak ketika para perampok ini marah marah. Mereka tidak bisa menemukan benda berharga di rumah kami. Semua harta benda milik ibu dan ayah tidak bisa mereka temukan. Karena frustasi dan kesal mereka mulai membentak kami. “katakan! Dimana barang berharga milik kalian.” Kalimat itu terus mereka lontarkan pada kami yang tidak tahu apa apa.
Mereka semakin kesal karena dalam satu jam mereka tidak bisa menemukan apapun. Sementara aku sedang berpikir bagaimana cara agar kami bisa selamat. Mereka justru semakin keras membentak kami. Adik adikku mulai menangis. Namun aku juga tak bisa berbuat apa apa. Karena selama empat belas tahun tinggal di rumah ini ayah dan ibu tidak memberitahukan dimana mereka menyimpan barang berharga mereka.
Karena kehabisan kesabaran. Perampok itu mulai berpikir lebih jahat lagi. salah satu perampok yang terlihat seperti ketuanya menghampiriku perlahan. Dan berbisik ke telingaku.
“cari! Dimana barang berharga milik orang tuamu. Kau anak paling besar kan? Orang tuamu pasti pernah berpesan hal seperti. Bawa ini jika terjadi bencana, atau apalah. Kau harus bisa menemukannya. Atau… setiap sepuluh menit adikmu satu persatu akan mati.”
Mendengar hal itu aku merasakan takut yang lebih hebat lagi. jantungku berdegup kencang hingga rasanya sakit sekali. aku menggigil ketakutan. Melihat wajah adik adikku yang sedang menangis dan menatapku seperti memohon untuk diselamatkan. Kengerian menjalar ke seluruh tubuhku saat membayangkan mereka harus mati ditanganku.
Akupun bergegas menyusuri rumah. Satu persatu ruangan yang aku kira adalah tempat ayah dan ibu menyimpan hartanya. Aku berlari pontang panting tanpa ampun. Satu ruangan sudah kuperiksa. Hasilnya nihil. Jam menunjukan jam 13 : 37. Tujuh menit berlalu sejak aku memulai pencarian buta ini. dan aku belum menemukan apapun yang berharga.
Aku berlari semakin kencang. Kesana kemari tanpa arah tanpa pikir panjang. Kepalaku seakan ingin meledak karena rasa takut dan bingung harus kemana lagi aku mencari. Terbayang wajah adik adikku yang ketakutan. Lalu aku berlari lagi hingga langkahku terhenti. Melihat sebuah guci besar di lantai dua. Aku kira ini pasti benda berharga juga. Aku mengambilnya sembarang padahal guci itu besar sekal. Hampir sama tingginya dengan tinggiku. Aku tergesa mengangkatnya. Dan berlari menuju tangga.
Aku mulai menuruni tangga. Satu persatu dengan guci berat itu. Jantungku terasa sakit. Tubuhku menggigil karena rasa takut. Sebelum kakiku menginjak anak tangga terakhir kakiku terpeleset. Aku jatuh! Jatuh dengan guci besar itu yang kini pecah. Guci satu satunya harapanku menyelamatkan adik adikku yang malang. Darah mengucur deras dari tanganku yang tergores serpihan guci itu. Membuatku merasa sesak.
Aku menangis. Aku ketakutan. Sesaat sebelum aku bangkit jam di ruang tamu tempat adik adikku dan perampok itu berada berdentum. Suaranya menggema. Membuatku terdiam. Kepalaku rasanya sakit. Dadaku sesak. Setengah jam berlalu sejak aku mencari. Air mataku deras mengalir.
Tak lama kemudian polisi datang. Mereka berhasil meringkus perampok itu. Aku selamat karena mereka tak sempat menangkapku saat aku sibuk mencari. Namun… tiga mayat bertumpuk di ruang tamu. Aku gagal. Tepat saat jam berdentum semua adikku mati. Peluru menembus kepala mereka. Darah membanjiri lantai. Aku terdiam melihat mayat mayat itu. Tiga puluh menit. Cukup untuk merenggut mereka dariku. Hanya tiga puluh menit!
Sejak saat itu. Ingatan tentang hari itu menghantuiku. Trauma yang butuh waktu lama untuk sembuh. Hingga sepuluh tahun kemudian. Hari ini, aku masih berusaha untuk berdamai dengan diriku sendiri. Ayah dan ibu juga telah ikhlas menerima semuanya. Dan selalu menasihatiku bahwa itu bukan salahku.
Dan sekarang. Dihadapan nisan dari tiga adikku yang manis. Aku berusaha. Berusaha memaafkan. Berusaha berdamai. Berusaha mengampuni diriku sendiri. Karena selain ampunan tuhan, yang paling penting adalah ampunan diri kita sendiri. Bahwa setiap kesalahan bukan hanya untuk disesali. Tapi juga untuk diterima. Bahwa dengan kesalahan kesalahan itu. Dengan semua hal entah baik atau buruk yang terjadi. Itulah yang menjadikan diri kita hari ini.
Maafkan kakak kalian ini. rana, rika, alya. Jika kalian berkenan, mari bermain lagi disana. Hatiku berbisik. Langit sudah ditaburi bintang. Kunang kunang beterbangan. Membuat indah malam yang sendur ini. juga membuatku merasa lebih baik. Bahwa esok lusa, semua luka akan membekas dan tak terpisahkan dari diri kita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam
Short StoryTentang luka, hilang, remuk, hancur, dan segala kegelapan hati manusia