Seorang anak laki laki sedang duduk di sebuah taman. Namanya Ia memandang kosong. Taman yang lengang tak berpenghuni ini sedang diterpa cahaya jingga. Suara jangkrik meramaikan suasana. Yang justru membuat rasa sepi lebih mencekik. Anak itu sedang melamun tentang nasibnya. Tentang rumah yang tidak lagi terasa seperti rumah. Dan dunia yang terlihat menakutkan bagi anak sekecil dirinya.
Bagaimana tidak menakutkan? Setiap malam rumahnya selalu ramai. Ramai oleh teriakan dan suara barang pecah. Orang tuanya selalu bertengkar setiap malam. Siangnya? Ia kesepian tak punya teman. Ia mulai berpikir tentang betapa menakutkannya dunia. namun ia tak berputus asa.
setiap hari ia jalani sepenuh hati. Meski dengan nasib malang terus menghampirinya. Ia bukan anak yang cerdas. Tapi ia cukup semangat untuk terus belajar dan melupakan segala hal yang membuatnya sedih. ia tak mau seperti anak lain yang juga bernasib sama. Ia sadar bahwa bukan hanya dia seorang yang mengalami masa kecil menyedihkan sepertinya. Karena itu, ia berpikir bahwa ia tidak memiliki perbedaan dengan anak lainnya.
ia mengatasi rasa kesepiannya di sekolah dengan membaca buku di perpustakaan. Setiap malam ia sibuk belajar tanpa menghiraukan teriakan dan suara suara yang mengganggunya. Ia sudah kebal dengan semua itu. Ia tahu bahwa semua tidak akan selesai hanya dengan diam. setidaknya ia masih bisa berusaha untuk dirinya sendiri.
Setelah usaha yang keras. Dengan tekad yang kuat. Ia berhasil. Ia berhasil masuk sepuluh besar peringkat kelas. meski hanya ke delapan itu merupakan kebanggan baginya. Banyak anak yang mulai memperhatikannya. Meski banyak juga yang iri dan justru tidak mengakui hasil jerih payahnya. Tapi ia tak peduli.
Ia senang sekali hari itu. Sambil menunggu malam ia kembali duduk di taman kesukaannya. Ia bernyanyi dan bermain. Meski sendirian ia tidak merasa sepi. Ia lebih dari mahir untuk menghabiskan waktu sendirian. Toh sampai saat ini ia memang selalu sendiri. Ia percaya bahwa yang bisa menolong dirinya hanyalah diri sendiri.
Malam tiba. Ia berharap wajah hangat dari kedua orang tuanya. Ia berlari kencang menuju rumah. Dan menunggu orang tuanya datang. Namun setelah larut baru orang tuanya pulang. Mendengar suara pintu terbuka dadanya dipenuhi keahagiaan. Ia segera berlari keluar. Namun bukan wajah hangat yang ia dapati. Hanya wajah lelah dan muram dari ibunya yang ia lihat.
Tak lama ayahnya datang. Ia berharap bahwa ayahnya bisa lebih ramah hari ini. namun yang ia lihat adalah wajah marah dan geram. Dalam hati kecil anak itu berharap sekali ini saja. Ia ingin orang tuanya bangga atas dirinya dan memperhatikannya. Ia pun punya ide untuk menunjukan hasil ujian smesternya. Bergegas ke kamar dan mengambil sebuah amplop kecil berisi pernyataan bahwa ia mendapat peringkat sepuluh besar.
Namun saat kembali ia dapati orang tuanya tengah bertengkar hebat. Ia tak mengerti apa yang membuat mereka bertengkar. Rasa bahagia yang ia rasakan hilang. berganti takut dan rasa sakit hati yang tak terperikan. Kenapa? Kenapa aku dilahirkan di keluarga seperti ini?
Ia kembali ke kamar. Menyimpan baik baik amplop kecilnya. Dan kembali keluar. Sebelum akhirnya duduk di taman kesukaannya. Ia menangis disana. Tergugu sendiri di malam buta. Rasa sepi seakan mencekiknya. rasa sakit yang ia rasakan mengingat semua yang ia alami membuatnya semakin keras menangis. Bukankah orang tua harusnya menjaga dan merawat anaknya. Lantas kenapa tidak dengan orang tuanya. Kenapa saat anak lain bahagia dengan orang tuanya ia justru tersiksa?
Ditengah tangisan yang memilukan itu. Hati kecil anak itu mengutuki nasibnya. Kenapa ibu ayahnya tidak mati saja!?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam
Short StoryTentang luka, hilang, remuk, hancur, dan segala kegelapan hati manusia