Aku menyukai kupu - kupu. Yang terbang indah tanpa suara. Menghinggapi bunga bunga tanpa permisi.
Sejak lahir aku tak pernah mendengar suara. Suara ibu saja aku tak tahu. Apalagi suara dari hiruk pikuk hidup manusia. Semuanya samar. Semuanya tak terderngar.
Aku kelas enam SD. Di sekolah aku tak memiliki teman. Semua tak bisa menyampaikan apapun tanpa suara. Mereka tidak paham bahasa isyarat. Yang mereka pahami adalah bahasa mereka sendiri. Maka aku tumbuh terasingkan.
Dijaili. Dihina. Dirundung.
Semua terlihat semakin menakutkan tanpa suara. Aku tak tau apa yang dikatakan manusia lain. Aku hanya menebaknya dari wajah mereka. Bagaimana kebencian mereka tergurat jelas di wajah mereka.
Ketika aku terluka. Ibu dan ayahku lebih terluka. Mereka marah pada mereka yang membuatku terluka. Yang justru membuatku semakin asing. Semakin dijauhi anak anak lain.
Rasa bersalah, Rasa sepi, rasa takut mengganyangku setiap hari. Melihat kebencian di wajah banyak orang. Melihat rasa kasihan yang wajah mereka tunjukan. Membuatku takut melihat wajah mereka. Karena itu aku selalu menundukan kepala. Membuat diriku buta dari manusia. Aku tuli, dan sekarang buta. Tuhan sepertinya membenciku.
Di jembatan ini aku menatap nanar langit senja. Menutup telingaku yang memang tak bisa mendengar. Menarik nafas panjang. Mengingat kembali banyak hal. Semuanya harus usai. Aku tak bisa lagi hidup. Aku tak bisa lagi terus menjadi manusia. Karena menjadi manusia aku harus sempurna. Manusia tidak menerima ketidaksempurnaan. Manusia membenci itu. Menjauhi itu. Bagi mereka, yang tidak sempurna tidak berhak hidup.
Karena itu. Aku menaiki pagar jembatan ini. Aku tersenyum. Aku merentangkan tangan ini. Aku tertawa. Tidak ada yang bisa menyelamatkanku selain tuhan.
Aku pejamkan mataku. Tubuhku terisap oleh gravitasi. Semakin kencang. Semakin kencang. Sebelum akhirnya gelap. Gelap...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam
Short StoryTentang luka, hilang, remuk, hancur, dan segala kegelapan hati manusia