Aku menyukai bulan sabit. Ia terlihat seperti tersenyum. Ditengah malam yang gelap. Bentuknya yang cantik seperti buah ceri pada sebuah kue. Gemintang yang tumpah ruah dan senyum dari rembulan. Membuat hatiku merasakan ketenangan.
Aku ingat kembali masa lalu. kenapa aku bisa menyukai bulan sabit. Bukankah semua orang lebih suka purnama. Benda yang bulat sempurna dan bercahaya terang sekali di malam hari. Bukankah semua orang lebih menyukainya. Daripada sepotong bongkahan batu diluar angkasa. Karena kebanyakan manusia memang serakah. Kebahagiaan bukan pada makna apa yang ia dapati. Tapi seberapa puas kita mengamati. Hanya karena yang lain lebih dan lebih. Lantas sederhana tidak jadi hitungan bahagia.
Aku semakin keras berpikir. Mengingat kembali masa lalu. tentang kenapa aku menyukai bulan sabit.
Hingga akhirnya aku menemukan sebuah bayangan. Ketika aku duduk bersama seorang teman di sebuah taman. Samar samar aku mampu mengingatnya. Kenapa aku menyukai sabit. Aku ingat lagi lebih keras. Tanganku memukul mukul karena geram.
Aku menemukannya!
Aku ingat kenapa aku menyukai sabit. Seorang teman masa kecilku menyukainya. Ia berkata padaku bulan sabit itu mengajarkan kita tentang selalu tersenyum. Meski kegelapan menyelimutinya. meski kesepian mengungkungnya. Meski ketakutan memeluknya. Kita harus tetap tersenyum.
Bagaimana aku bisa lupa. Teman itu adalah teman yang baik. Ia selalu menjadi teman terdekatku. Sahabatku. Meski aku kembali ingat. Bahwa keesokan harinya temanku itu mati. Sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam
Short StoryTentang luka, hilang, remuk, hancur, dan segala kegelapan hati manusia