13. Rindu

819 46 3
                                    

📚HAPPY READING 📚

.

.

.

“Zof, hei!” Gadis yang membersamai Azof itu pun sedari tadi melambaikan tangannya di depan wajah pria berkacamata tersebut. Namun, sama sekali tidak digubris.

“Azof!”

“Hah, apa?” jengit pria itu tersadar dari lamunan.

“Kamu kenapa?” tanyanya bingung.
Pria itu lantas menggelengkan kepala. “Enggak, gue nggak kenapa-kenapa. K–kalau gitu, gue pamit ke dalam dulu,” ucapnya hendak kembali ke pondok.

Akan tetapi, baru hendak melangkah, lengannya sudah dicekal oleh gadis yang tidak lain adalah mantannya–Salsabilla. Dirinya menatap penuh tanya pada gadis itu sebelum akhirnya tersadar dan langsung menurunkan tangan Bila dari lengannya.

“Lo mau ke mana?” Pria tersebut hanya terdiam. Bila menghembuskan nafas, di tatapnya pria yang memiliki postur tubuh lebih jangkung dari dirinya itu.

“Ngapain ke sana lagi, sih? Lo ‘kan udah diusir dari sana!”
Perkataan teramat sangat tidak mengenakan bagi Azof, mampu membuat pria itu kembali bersikap dingin dan memasang wajah datar.

“Barang-barang gue masih di sana dan lo nggak berhak larang-larang gue!”

Setelahnya, Azof pun berlalu dari hadapan Bila usai mengucapkan salam. Dengan tatapan nanar, Bila terus memandangi punggung kokoh yang mulai menjauh dari hadapannya itu, usai menjawab salam.

‘Tadi, lo bersikap baik banget sama gue. Tapi ... kenapa tiba-tiba aja, berubah, Az?’

***

Rumah Sakit Citra, begitu tertera jelas nama tersebut pada gapura sebagai penyambut kedatangan kendaraan yang membawa pasien maupun hendak menjenguk kerabat mereka. Memasuki pintu kaca transparan langsung disambut oleh seorang resepsionis berseragam putih yang terhalang oleh meja setengah lingkaran dengan ukuran lumayan panjang.

Tidak, bukan ingin bercengkerama dengan resepsionis atau pun petugas lainnya. Melainkan, kita akan menuju pada ruangan Kasturi. Tempat di mana sang ustaz muda itu dirawat.
Di sinilah tepatnya, terlihat di dalam ruangan berukuran lumayan luas tersebut ada seorang wanita dengan jilbabnya tengah terduduk di samping brankar sang putra dengan pakaian pasiennya. Wanita itu terus tersenyum haru dan menggenggam erat sembari mengelus punggung tangan anak laki-laki satu-satunya itu.

Permohonannya pada Sang Kuasa ternyata lekas dikabulkan. Putranya masih diberikan kesempatan untuk hidup dan berkumpul dengan dirinya dan keluarga mereka. Bahkan tanpa terasa, bulir bening menetes dari celah mata yang terlihat lelah itu akibat tidak tidur semalaman.

“Udah, biarin Agamnya istirahat. Ambu lebih baik istirahat juga, nih, sudah Abah belikan sarapan,” ujar Abah Amar seraya menjinjing kantong plastik berwarna putih transparan, berisikan sarapan.
“Ambu nggak lapar, Bah,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari sang anak.

Lelaki yang hampir sepuh itu menghela nafas, tangannya menyentuh sebelah pundak sang permaisuri.

“Kalau, Ambu nggak makan bisa-bisa gering oge. Emangnya, mau sakit juga?”

“Yaudah, Ambu makan,” putus wanita itu akhirnya seraya tersenyum manis pada sang suami.

Lantas, Abah Amar pun mengusap sayang pucuk kepala istrinya yang tertutup jilbab itu. Dengan lahap, bunda Zainab menyantap sarapannya berupa bubur di meja yang tersedia di ruangan itu, sedangkan dirinya duduk di sofa panjang.

Antara Dua Hati (SEASON 2 CTN)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang