Kai menunduk, tak berani untuk sekedar mengangkat kepala saat Ibuk dan Bapak menatapnya lekat dari arah meja makan.
hatinya masih tak tenang, rasa tak berguna merayap menyelimuti hati yang tak begitu menerima bahwa nyatanya diri tak sanggup untuk melakukan yang terbaik dan berangkat ke jerman.
Kai sedikit terkekeh miris dalam hati, karena pada dasarnya jarak antara keinginan dan kenyataan begitu jauh untuk digapai, mungkin saja kerja keras dirinya selama ini belum sekeras itu untuk sampai ke titik yang ia inginkan.
"Jadi?" tanya Bapak memulai obrolan.
Kai menggeleng kecewa, hatinya kecewa dan ia tak ingin keluarganya ikut turut dalam rasa kecewa yang begitu menguak tanpa ada penahan.
"ndak lolos" bisiknya pelan.
Ibuk lantas tersenyum, bangkit dari duduknya dan mengelus punggung Kai sayang, "gagal itu hal biasa"
"tapi ini begitu mengecewakan" bisik Kai lagi.
Bapaknya terkekeh, "takdir mu bukan di Jerman kalau begitu. tak semua yang kamu inginkan harus tercapai Kai, karena tuhan pasti memiliki rencana yang lebih indah dibanding rencana mu"
"tapi bukanlah mendapatkan hal yang kita inginkan jauh lebih menyenangkan dibanding hal yang tak kita inginkan?" tanya Kai keras kepala.
Bapak terdiam, rasanya percuma jika harus berdebat dengan anak semata wayang yang begitu keras kepala dan pribadi yang menyebalkan saat kecewa dan emosi menguasai.
"pergi ke jerman, bapak biayai" putus bapak final.
Kai lantas menggeleng heboh, membuat Ibuk menghela napas berat. anak yang tak pernah ingin menyusahkan orang tua.
"bapak mampu, dan kamu bisa mencapai cita-cita lantas apa masalahnya Kai? Bapak berkerja untuk kamu, maka jika uangnya terpakai untuk biaya pendidikan mu ya memang itu tujuannya" ujar Bapak.
Kai berdecak, "Kai ikut tahun depan saja"
"menganggur satu tahun? membiarkan Arav pergi sendirian ke Jerman tanpa teman?" tanya Ibuk heran.
pemuda coklat itu bangkit dari duduknya, mengabaikan panggilan ibuk karena hatinya dilanda gundah. ia tak ingin menjadi sosok egois tapi nyatanya ia juga tak ingin membebani kedua orang tua.
biaya untuk sekolah di luar negeri bukanlah murah, bahkan untuk makan dan tempat tinggal akan begitu merogoh tabuan dengan rakus.
ia lantas menghempaskan tubuh pada ranjang, menutup wajah dengan lengan kanan dan mulai menangis lagi, ah Kaili tampaknya menjadi orang cengeng sekarang.
rasa bersalah, kecewa dan semua hal aneh menyelimuti dirinya sekarang, jika saja hari itu ia tak meminta Arav mengikuti test, mungkin pemuda tampan itu tak harus pergi ke Jerman.
"maaf" bisiknya dalam tangis.
mungkin jika Arav ada disampingnya, pemuda tampan itu hanya akan menggeleng dan berseru jika itu bukan salahnya sama sekali, semuanya jelas telah ditulis dalam takdir umat manusia tentang perjalanan hidup masing-masing.
"Kai ndak lolos" ujar Arav di hadapan kedua orang tuanya.
ayah menoleh acuh, "kenapa bisa ndak lolos?"
"saya juga ndak tahu, padahal dia pintar.. jauh lebih pintar dari 19 orang yang lolos" bisik Arav heran.
Bunda meneguk teh hangat miliknya anggun, "diri mu lolos?"
"iya, tapi saya ndak senang" ucap Arav gamblang.
jelas dirinya tak senang, karena alasan ia mengikuti tes dan pergi ke jerman tak ikut turut dalam keberangkatan. rasanya ingin membatalkan namun sekolah bisa kehilangan kesempatan tahun depan.
"pergi sendirian?" tanya Ayah.
Bunda menggeleng, "bapak Kaili pasti mampu membiayai bukan? anak itu pasti tetap pergi mengingat mimpinya begitu besar untuk bersekolah di sana"
"Kai ndak mau menggunakan uang orang tua" desah Arav frustasi.
wajah tampan itu tampak kusut, kemeja biru yang ia gunakan tampak sama kusutnya dengan dua kancing yang terbuka. ia belum mengganti pakaian sejak pulang mengantar Kai, hatinya gundah bukan main.
Ayah terkekeh, "wajah mu kusut"
"alasan saya pergi ke Jerman ndak pergi, bagaimana bisa saya pergi ke sana sendirian?" tanya Arav pelan.
Bunda menghela napas, "nanti coba kita minta untuk pemindahan nama"
"maksud mu?" tanya Ayah.
"namanya Arav ganti sama yang mau pergi, kecuali Kaili. satu ndak pergi semuanya ndak usah pergi" putus Bunda.
Arav tergelak, ah jika saja semua begitu mudah seperti apa yang Bunda katakan. tapi nyatanya, Kaili akan mengamuk jika tahu ide dari sang Bunda yang tak cukup adil.
"nama ku nomor satu, caranya bagaimana?" tanya Arav menantang.
Bapak tersenyum, "kalau begitu nomor 20 ganti dengan nama Kai"
"Kai nanti ndak bakalan setuju" bisik Arav.
"kalau begitu kamu pergi ke Jerman, Kai sekolah disini saja. bertemu jika libur dan saling bertukar surat" ujar Bapak lagi.
Arav menutup matanya, kenapa semua terasa serba salah bagi dirinya dan Kaili atau mungkin jika si coklat manis itu mengiyakan tawaran orang tua agar pergi dengan biaya pribadi, semuanya tak akan serumit ini.
tubuh tinggi itu bangkit tanpa sepatah kata dan masuk ke dalam kamar dan duduk di meja belajar dalam diam.
"apakah aku sanggup untuk pergi tanpa diri mu" bisiknya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Telinga Kiri [✔️]
FanfictionKaili tak bisa mendengar pada telinga kirinya dan Arav, sang pengecut yang selalu berbisik kata cinta pada telinga kiri Kai. ⚠️lokal ⚠️bxb ⚠️hajeongwoo