"kamu jadi main ke rumah saya?" tanya Arav setelah Kaili keluar dari kelasnya.
benar, Arav keluar terlebih dahulu dan memutuskan untuk menjemput Kaili ke kelasnya.
tanpa alasan yang jelas, karena Arav hanya mengikuti kata hatinya saja yang ingin menjemput Kaili.
Kai mengangguk. "jadi, aku sudah bilang ke bapak dan diizinkan."
"mari pulang kalau begitu." kata Arav pelan seraya menarik pergelangan tangan Kai menuju parkiran.
yang ditarik hanya bisa diam, menatap tangannya yang digenggam oleh tangan besar milik Arav.
"pas." ujarnya tanpa sadar.
Arav menoleh. "apa-nya yang pas?"
Kai gelagapan lalu menggeleng ribut sebagai jawaban. "b-buku ku pas."
"kamu takut lupa memasukkan seluruh buku ke dalam tas?" tanya Arav yang telah menaiki sepeda.
Kai terkekeh canggung lalu mulai berdiri di bagian belakang. "iya."
keduanya mulai beranjak dari sekolah. jujur saja, Kai sedikit rish akan pandangan warga sekolah yang melihat keduanya.
namun ia mencoba menekan rasa tak nyaman itu dengan mengadah dan menatap cerahnya langit yang mulai ditutupi oleh awan hitam.
"sepertinya akan hujan." kata Kai pelan.
Arav melajukan kayuhannya saat rintik hujan mulai turun ke bumi.
Kai mengerjap dan menguatkan pegangan pada pundak lebar milik Arav. sedangkan tangan kananya mencoba menarik tas selempang miliknya.
lalu sedikit mengangkat tas tersebut untuk dijadikan payung. ia menunduk, mensejajarkan kepalanya dengan Arav agar kepala keduanya tak basah.
mereka masuk menerobos pagar rumah Arav dengan cepat dan berhenti mendadak di depan teras.
untungnya, Kaili memiliki refleks yang bagus maka sebelum sepeda itu berhenti, ia memilih untuk lompat.
Kai tergelak saat melihar Arav yang tersungkur di teras rumah akibat menarik rem secara penuh dan tiba-tiba.
ia berlari, menarik lengan sang teman untuk dibantu duduk. "ada yang sakit?"
Arav menggeleng. "kamu, ada yang sakit? jatuh atau tidak?"
"tidak." balas Kai seadanya.
kepala itu mengangguk lalu menarik Kai untuk dibawa masuk ke dalam rumah. "mari."
dua anak adam itu berjalan beriringan, rumah Arav bergaya belanda dan Kai cukup takjub.
"ganti baju ya Kai, baju mu basah nanti sakit" ujar Arav lembut.
Kai tersenyum "iya."
satu sweater berwana hijau telah berada di tangan Kai, namun ia cukup bungung harus berganti pakaian di mana.
"Arav? aku harus ganti di mana?"
Arav menoleh. "di sini."
"di sini?" tanya Kai gugup.
pemuda tersebut tergelak, ia tau jika Kaili malu dan ia sengaja ingin menggoda sang teman baru.
"iya, saya ndak lihat kok." kata Arav meyakini.
Kai mengangguk kaku lalu mulai membuka kancing kemeja sekolahnya perlahan. sedangkan Arav mulai larut dalam buku biologi yang ia baca.
"sudah?" tanya Arav.
"sudah." balas Kai.
tubuh tinggi itu berbalik, lalu tersenyum gemas saat melihat tubuh Kai yang sedikit tenggelam dalam sweater hijau.
"Kai, lapar tidak?" tanya Arav.
"iya." balas Kai pelan.
ia masih malu, dan ini baru hari kedua dirinya berteman dengan Arav namun ia telah datang bertandang ke rumah si pemuda rupawan.
Arav mengangguk, dan menarik bahu Kai untuk dibawa ke ruang makan, dan di sana, keduanya telah di sambut oleh kedua orang tua Arav.
Kai terperanjat, ia kira Arav hanya tinggal dengan penjaga rumah serta bibi yang membantu perkerjaan rumah.
"eh? Kaili ta?" tanya Ayah Arav semangat.
Bunda melirik aneh. "siapa?"
"temen Arav, satu sekolah." ujar Arav.
Kaili menunduk sopan lalu berjalan mendekat ke arah Bunda, mengulurkan tangan hendak menyalim.
Bunda tersenyum lalu mengambut uluran tangan sopan milik Kai seraya mengelus surai legam itu saya.
"saya Kaili Asoka Janari buk, temannya Arav di sekolah." ujarnya pelan.
Bunda tersenyum seraya menuntun Kai untuk duduk di samping Arav dan mulai menyendokkan nasi untuk teman sang anak.
Kai lantas menolah. "s-saya bisa sendiri-"
"nanti Bunda merajuk, biarkan saja." tegur Arav.
pemuda Janari itu mengangguk pelan dan tersenyum. "silahkan buk."
"panggil Bunda saja, biar seperti Arav." ujarnya dengan logat jawa yant begitu kental.
Bunda Arav tampak anggun, dengan stelan gaun, sanggul dan riasan yang benar-benar menunjukkan status sosial dirinya.
"ayo dimakan." ujar Bunda.
seluruh manusia di meja makan mulai makan dengan tenang, tak ada yang membuka suara sampai nasi yang semulanya penuh kini telah habis tak tersisa.
Ayah mengusap bibirnya menggunakan kain. "Kai bercita-cita ingin menjadi apa?"
Kai menoleh. "saya ingin membuat alat transportasi pak. seperti pesawat misalnya."
Arav diam-diam tersenyum kecil, Kai terlihat begitu bersemangat menceritakan keinginannya.
Ayah tersenyum bangga. "bagu sekali, panggil ayah saja ya."
"i-iya yah." balas Kai malu.
"berarti Kai ingin mengikuti perjalanan study ke jerman?" tanya Ibuk.
Kai mengangguk. "rencananya begitu."
"bagus lah, semangat ya belajarnya supaya bisa menciptakan pesawat untuk negara tercinta." ujar Bunda.
Arav tersenyum. "masih ada yang ingin dibicarakan?"
"tidak, kenapa?" tanya Bapak.
pemuda tinggi itu lantas berdiri, menunduk sopan seraya menarik Kai yang kini menunduk dengan sopan ke arah kedua orang tua Arav.
"sekarang giliran Arav yant berbincang dengan Kai." ujar Arav dan menarik lengan Kai menjauh.
Bunda terkekeh. "lucunya."
"pencemburu." ujar Ayah jenaka.
Arav mendengus malas. ia masih bisa mendengar seruan sang Ayah dan ia yakini Kai pun turut mendengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Telinga Kiri [✔️]
FanfictionKaili tak bisa mendengar pada telinga kirinya dan Arav, sang pengecut yang selalu berbisik kata cinta pada telinga kiri Kai. ⚠️lokal ⚠️bxb ⚠️hajeongwoo