Kaili tengah berkutat dengan catatan fisika miliknya, terkadang merutuki jari yang salah menulis kata.
"KAI." teriak Ibuk dari bawah.
yang dipanggil menghela napas malas dan bangkit dengan kasar dari tempat duduknya.
tubuh itu ia bawa dengan paksa untuk berlari menuju bawah tangga yang ia yakini tempat di mana Ibuk berada.
"kenapa buk?" tanya Kai tepat setelah menginjak tangga terakhir.
Ibuk menoleh, seraya menyerahkan ganggang telpon. "Sakya."
Kai mengernyit heran, tak biasanya manusia tinggi itu menelpon ke rumah. ia lantas menyambut uluran telpon tadi.
"kenapa Sak?" tanya-nya pelan.
tawa milik Sakya terdengar dari seberang. "aku rindu, bagaimana kabar mu?"
"aku baik, bagaimana dengan dirimu?"
"sama, sudah mengakrabkan diri dengan Arav?" tanya Sakya.
Kai mengangguk padahal ia tahu jika Sakya jelas tak bisa melihatnya saat ini. "iya, tadi aku main ke rumahnya."
"bagus kalau begitu, yang betah berteman dengannya ya. jadi aku ndak harus khawatir kalau kamu bakal melewati tahun terakhir sendirian." ujar Sakya.
Kai heran. "maksud mu apa? kan ada dirimu? kapan pulang sih?"
"hahaha Kai, dengar." ujar Sakya dengan nada serius.
pemuda manis itu lantas terdiam, menunggu hal yang akan Sakya sampaikan padanya.
"aku ndak bakalan pulang, keluarga memilih pindah secara mendadak agar bisa fokus dengan pengobatan punggung ku." ujar Sakya pelan.
Kai terdiam, memproses kalimat yang baru saja ia dengar dari sang teman sekaligus sepupunya itu.
"ndak pulang lagi ta? selamanya?" tanya Kai.
Sakya tergelak. "lebaran mungkin."
"lantas bagaimana dengan impian kita untuk pergi ke jerman? dirimu menyerah?" tanya Kai dengan nada yang cukup tinggi.
rasa kecewa menyelimuti dirinya yang masih susah untuk mengendalikan emosi ini, membuat Ibuk buru-buru berlari ke arahnya.
"kai kenapa?" tanya Ibuk.
bibir itu melengkung siap untuk menumpahkan pasokan air mata yang telah berdiri di ambang pelupuk mata.
"kai mau pergi ke sungai dulu." ujar Kai yang meletakkan ganggang telpon.
memutuskan sambungan sepihak dan berlari menuju teras rumah, mengabaikan tatapan heran sang ibuk.
"berkelahi ta?" monolog Ibuk pelan.
Kai duduk di batu besar sungai dengan pandangan kosong, ia menangis habis-habisan tadi.
kehilangan teman memang begitu menyakitkan apa lagi jika sudah saling mengenal sejak lama.
ditambah dengan Sakya yang pindah dengan mendadak tanpa memberi tahu dirinya terlebih dahulu.
Kaili jelas merasa dibohongi oleh keluarga om-nya termasuk teman sejatinya itu.
mata itu masih menatap kosong air sungai yang mengalir tenang sampai akhirnya pundak itu ditepuk dari belakang.
Kai hampir oleng, namun tangan yang menepuk itu dengan sigap mencengkam lengan atas milik Kai.
"astaga." ujar Kai pelan.
tangan kirinya memegang dada kirinya yang berdetak dengan cepat karena terkejut.
"maaf." ujar suara berat.
Kai mendongak dan mendapati Arav yang menatapnya khawatir. "hah?"
"maaf." ujar Arav lagi dengan suara yang lebih kencang.
pemuda manis itu mengangguk kaku dan ikut dalam tarikan Arav yang memilih untuk turun dari batu.
"ndak takut jatuh?" tanya Arav heran.
Kai tersenyum kecut. "sudah biasa."
"wajah mu seperti benang kusut, ada masalah?" tanya Arav pelan.
Kaili diam, berdebat pada diri sendiri antar menceritakan masalah yang terdengar begitu kekanakan. ia tak ingin Arav mengatainya dan berkahir keduanya gagal berteman.
"jika ada masalah, tolong cerita ya. entah kapan pun kamu siap, soalnya kita teman kan?" tanya Arav.
pemuda Janari itu menghela napas berat. "Sakya pindah, ndak bilang-bilang terus aku kecewa."
suara itu sedikit bergetar membuat Arav tersenyum maklum. tangan itu bergerak untuk menarik Kai bersandar pada bahunya.
"merelakan itu memang sulit namun jika tak dilakukan, itu malah akan menyulitkan kamu untuk terus melangkah tanpa Sakya." ujar Arav.
Kai diam tak menyahut perkataan Arav yang memang ada benarnya juga jika dipikir.
"Sakya pasti punya alasan. entah itu tak bisa menolak atau memang keadaan yang tak bisa untuk diajak kompromi."
Arav menunduk, melirik ke arah Kai yang masih bungkam. "jika kamu khawatir tempat bersandar mu hilang, maka tolong perlahan jadikan saja saya tempat untuk kamu bersandar kala gundah melanda."
"dan saya juga berharap kamu bisa menjadi tempat sandaran saya jika semesta tengah memainkan peran terjahatnya." bisik Arav pelan.
Kai menegakkan tubuhnya, menatap Arav lekat. "terimakasih"
"untuk apa?" tany Arav heran.
"karena telah menyerahkan diri untuk menjadi tempat bersandar."
Arav tersenyum. "sama-sama."
"tapi aku ndak mau begitu, aku mau kamu juga jadi tempat sandaran yang bukan hanya rasa sakit namun juga kebahagiaan." bisik Kai pelan.
pemuda tampan itu mengangguk senang. "teman?"
"teman." bisik Kai lagi.
Arav mengusap kepala Kai. "jadi, jika sedih tolong cerita ya."
"Arav juga." balas Kai.
keduanya lantas terdiam sejenak, menikmati kesunyian yang tercipta antar keduanya yang kini mulai mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Telinga Kiri [✔️]
FanfictionKaili tak bisa mendengar pada telinga kirinya dan Arav, sang pengecut yang selalu berbisik kata cinta pada telinga kiri Kai. ⚠️lokal ⚠️bxb ⚠️hajeongwoo