3. Si Jenius Itu Suamiku

21.4K 1K 20
                                    

Aku terbangun dari tidurku, setelah merasakan ada sesuatu yang menyentuh wajahku. Ketika kedua mataku sudah terbuka sempurna, kulihat Mas Aham menunduk dan melirik ke arahku dengan ekspresinya yang datar.

Aku pun menjadi tersadar, bahwa posisiku saat ini masih memeluknya dari samping seperti sedang memeluk guling. Ketahuilah, ini adalah posisi terfavoritku ketika tidur bersamanya. Sadar kami sudah halal, semalam aku jadi tak sungkan lagi melakukannya. Bahkan semakin menjadi. Biarlah Mas Aham berpikir apa. Yang penting aku bisa tidur dengan nyaman di pelukannya.

Eits! Jangan berpikir yang iya-iya dulu. Aku dan Mas Aham tidak melakukan apa pun semalam, sebab kami langsung tidur setelah mengatakan bahwa kami sama-sama mengantuk.

"Bangun, sebentar lagi adzan subuh. Saya mau sholat ke masjid. Jangan tidur lagi. Bantu Bi Darmi masak di dapur."

Ih, apaan sih? Mana bisa aku masak? Dari kecil aku nggak pernah dituntut untuk bisa masak. Bunda aja yang jago masak nggak dibolehin Ayah deket-deket sama kompor. Apa lagi aku yang sama sekali nggak pernah belajar masak.

"Nggak bisa masak." Jawabku meringis tipis.

"Makanya belajar. Toh, nggak ada yang ngelarang kamu mendekati kompor."

"Tapi Bunda nggak dibolehin ayah."

"Tapi saya nggak ngelarang kamu."

Iya kan, kalah akunya. Duh, ribet nih urusan kalau gini jadinya.

"Pelan-pelan saja. Telur ceplok juga nggak masalah. Selagi masih bisa dimakan." Ucapnya lagi, sebelum beranjak dari tempat tidur kami.

Cie ileeeeeh, kami? Duh, kenapa rasanya pipiku jadi panas, ya? Lemah banget sekarang aku tuh.

"Malah bengong, cepetan wudhu." Sentak Mas Aham. Aku tersadar dari lamunan nistaku. Lalu bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Sekeluarnya aku dari kamar mandi, aku udah nggak mendapati Mas Aham di kamar. Sepertinya dia sudah berangkat ke masjid.

♡♡♡

Pagi ini kami sarapan bersama, dengan anggota keluarga yang lengkap. Ayah duduk di bagian ujung meja, maksudku di bagian kepala meja. Bunda duduk di sebelah kirinya, lalu berurutan duduk adik laki-laki pertamaku-Zain, lalu disusul Zian adik laki-lakiku yang terakhir.

Sedangkan aku duduk di sebelah kanan Ayah, lalu disusul oleh Mas Aham. Kulirik Bunda sebentar, ternyata Bunda ngasih aku kode untuk nyiapin makanan buat Mas Aham. Sementara beliau juga sibuk nyiapain makanan di piring Ayah. Tanpa banyak protes aku pun melakukannya.

"Mas mau apa?" Tanyaku pada Mas Aham.

Dia hanya menunjuk makanan yang dia mau tanpa bersuara. Dan dengan sigap aku mengambilkan untuknya satu persatu. Dari nasi dulu, lalu ayam bistik, kemudian acar. Padahal masih ada lauk pauk lainnya di meja makan. Tapi aku tahu betul dia punya alergi terhadap udang dan ikan laut. Karena kebanyakan lauk pauk yang ada adalah seafood. Makanan kesukaan keluargaku.

Jadi, alternatif paling tepat adalah daging-dagingan. Itu pun nggak sembarang daging. Yang dimaksud daging ayam di sini adalah daging ayam kampung yang masih muda. Karena dagingnya masih empuk.

Selama kami makan, tidak ada yang berbicara. Hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Hal itu memang sudah menjadi kebiasaan di keluargaku. Walau terkadang masih ada kasak kusuk dari kedua adikku yang berebut lauk pauk. Kalau sudah ditegur, baru mau diam lagi.

Selesai sarapan, Ayah, Bunda, aku dan Mas Aham berkumpul di ruang keluarga. Kebetulan hari ini adalah hari Sabtu. Adik-adikku sudah berangkat ke sekolah. Sedangkan Ayah dan Bunda sedang libur bekerja. Kalau Mas Aham masih belum menentukan di mana dia akan melamar pekerjaan. Aku sendiri masih cuti kuliah. Senin baru masuk lagi. Sengaja memang, nggak ngambil cuti lama-lama. Takut orang-orang pada curiga.

"Jadi, apa rencana kalian selanjutnya?" Tanya Ayah tenang.

Aku melirik Mas Aham. Dia nampak berpikir sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Ayah.

"Untuk sementara waktu, kami belum bisa pindah ke rumah kami sendiri. Ayah dan Bunda sangat tahu, saya benar-benar tidak ada persiapan apa pun sebelumnya. Sampai detik ini pun saya masih belum menyangka, sudah menikah." Jawab Mas Aham tenang.

Ayah justru terkekeh mendengar jawaban Mas Aham. Kupikir baliau akan memberikan rentetan kata yang menyinggung perasaan. Walau bagaimana pun sekarang aku sudah menjadi tanggung jawab Mas Aham. Mungkin dia merasa sungkan karena masih harus menumpang di rumah Ayah dan Bunda.

"Kalau masalah itu Ayah sudah pernah singgung kan, Aham. Jangan pernah merasa sungkan. Toh, kamu juga sudah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lama. Bukan hanya pada saat setelah menjadi suami Shikha. Pelan-pelan saja, sementara kamu mencari pekerjaan yang sesuai dengan gelar dan passion kamu. Ngomong-ngomong soal itu, apa kamu sudah mempertimbangkan untuk bergabung di kampus Ayah? Atau kamu mau bergabung di rumah sakit keluarga kita?" Tanya Ayah mulai lebih serius.

Ya, selain bisnis restoran dan perhotelan, sejak 10 tahun yang lalu, usaha bisnis Ayah merambah ke ranah kesehatan. Awalnya hanya ingin membangun klinik buat Bunda khusus untuk pasien gangguan mental dan anak berkebutuhan khusus. Tapi akhirnya sekalian dibuatkan rumah sakit umum. Kurang savage apa lagi, Ayahku itu?

"Saya sudah mempertimbangkan hal itu sejak saat pertama kali ayah menanyakan hal itu. Jadi, saya memutuskan untuk membantu Bunda saja di rumah sakit keluarga." Jawab Mas Aham mantab.

Jadi gini, aku belum cerita kan soal gelar dan profesi Mas Aham?

Mas Aham itu sejak dulu menderita OCD, namun berangsur-angsur membaik beberapa tahun sejak rutin melakukan terapi. Tapi yang kutahu, hingga hari ini penyakitnya itu bisa saja kambuh jika dia sedang cemas berlebihan. Oleh karena pengalaman pribadi itulah, sehingga kemudian ketika lulus SMA, dia akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang psikiater. Tentu hal itu butuh proses yang panjang, bukan.

Dia harus kuliah kedokteran umum dulu selama 6,5 tahun. Selama 6,5 tahun itu, selain mengejar gelar sarjana kedokteran, itu juga termasuk menjalani masa profesi atau co-ass (dokter muda) selama 3 semester dan internship selama 1 tahun. Baru kemudian bisa mengambil spesialisasi kedokteran jiwa atau residensi paling cepat selama 2 tahun, setelah lulus dia langsung melanjutkan ke jenjang doktoral. Dan yang paling tidak kami sangka-sangka, ia lulus dengan predikat Summa Cumlaude, dengan tambahan gelar profesor. Bayangkan aja, guys. Seberapa jeniusnya suamiku ini.

♧♧♧

Muka bantalnya Shikha tuh, gini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Muka bantalnya Shikha tuh, gini. Masih cantik aja, ya. Pantesan Mas Aham sempat-sempatnya aja ngelirik.

 Pantesan Mas Aham sempat-sempatnya aja ngelirik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Duh, Mas. Brewoknya pengen kucukurin, deh. Wkwkwkwk

Istrinya Tuan JeniusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang