23. Shikha atau Rendang?

11K 988 77
                                    

Rencana membawa makan siang untuk Mas Aham pun akhirnya terealisasikan. Sebelum aku pergi ke kantornya, aku sudah minta tolong Daddy untuk ngasih tau Mbak Midy, agar tidak melaporkan kedatanganku ke Aaron, apalagi Mas Aham. Untungnya Mbak Midy mau diminta kerja sama.

Sesampainya di depan kantor Mas Aham, aku disambut oleh wanita itu. Dan dia akan menuntunku hingga ke depan pintu ruangan Mas Aham. Sepanjang perjalanan kami, sejak dari lobi hingga memasuki elevator, dapat kulihat semua orang tampak repot sekali dengan pekerjaannya masing-masing.

Mereka begitu sibuk. Hingga tak menyadari kedatanganku. Biasanya mereka akan menyapa sebentar sambil memamerkan senyum ramah.

"Midy, ada apa dengan orang-orang di kantor ini?" Tanyaku padanya.

"Mohon maaf Mrs.Matthiew, izin menjawab. Beberapa hari belakangan ini, Mr.Matthiew membuat hampir seluruh departemen dan divisi kalang kabut karena diminta untuk menyerahkan laporan mereka secara langsung. Dan tentunya mereka akan ditanyai oleh Mr.Matthiew tentang beberapa hal. Jika jawabannya tidak sesuai keinginan beliau, para kepala departemen dan kepala divisi akan dimarahi habis-habisan oleh beliau."

Aku menghela napas gusar. Ada apa dengan Mas Aham sebenarnya? Mau aku bilang dia lagi PMS, kok nggak cocok sekali. Suamiku kan, laki banget. Tipe pria macho, gagah dan tentunya berkharisma.

Aku nggak bertanya lagi setelahnya. Tiba-tiba aku jadi kesal sendiri. Mas Aham kok, berubah jadi menyebalkan sekali?

"Mr.Matthiew masih berada di ruang rapat. Apa Anda ingin menunggu di dalam ruangan beliau?" Tanya Mbak Midy, sebelum kami memasuki elevator.

"Antarkan saya ke ruangan rapatnya." Jawabku tegas.

Mbak Midy sepertinya ingin menyanggah, tapi urung setelah aku acungkan telapak tanganku di depan wajahnya. "Antar saya sekarang juga. Jangan banyak protes." Ucapku lagi.

Dia mengangguk dan menuntunku menuju ruang rapat.

Sesampainya di depan ruangan, aku melihat ada dua orang penjaga yang sedang berdiri di kedua sisi pintu masuk. Ketika mereka melihat keberadaanku, keduanya kompak menunduk hormat. Namun, nggak berkata apa pun.

Semakin aku mendekat ke depan pintu, aku semakin bisa mendengar suara gaduh dari dalam ruang rapat. Terdengar suara Mas Aham yang menggelegar, tengah memarahi entah siapa. Dengan bahasa English British yang sangat kental, Mas Aham mengomel kayak emak-emak yang lagi ngomeli anaknya. Kayak lagi ngerap, ada juga.

Tanpa pikir panjang, aku meminta Mbak Midy untuk menghubungi Aaron. Dia sempat ingin protes, tapi langsung aku pelototi.

Kudengar ketika sambungan telepon terhubung, Mbak Midy langsung bertanya keadaan di dalam sana.

"Bisa keluar sebentar, Tuan?"

"...."

"Tolong jangan katakan pada Mr.Matthiew bahwa istri beliau sedang berada di sini juga."

"...."

"Baik, saya tunggu di depan."

Tak lama setelah sambungan terputus, pintu ruangan tersebut terbuka dan menampilkan wajah Aaron yang kusut.

"Nona, kenapa Anda di sini? Seharusnya Midy mengantar Anda ke ruangan Mr.Matthiew." Serunya terdengar datar.

"Jangan salahkan Mbak Midy. Aku yang memintanya untuk mengantarkanku kemari." Balasku tajam. "Sedang apa Mas Aham di dalam? Kenapa gaduh sekali?" Tanyaku.

Aaron seperti ragu ingin mengatakannya padaku. Tapi akhirnya mau menjelaskan.

"Ada beberapa kesepakatan yang tidak Mr.Matthiew setujui. Sebagian menyanggah, untuk memberi penjelasan. Tapi sepertinya beliau sedang tidak bisa dibantah untuk saat ini."

"Apa rapatnya tidak bisa ditunda dulu sampai jam makan siang selesai?" Tanyaku lagi. Lalu mengangkat tinggi-tinggi tas bekal yang aku bawa dari rumah. Sebelumnya Mbak Midy mau membawakannya untukku. Tapi aku menolak karena aku nggak mau tas bekal ini dipegang-pegang sama orang lain selain aku dan Mas Aham.

"Sepertinya rapat kali ini akan berjalan alot, Nona. Kecuali jika saya memberitahukan Mr.Matthiew bahwa Anda sedang menunggu untuk makan siang bersama di ruangan beliau seperti biasanya."

"Ya sudah. Lakukan saja seperti yang kau katakan. Aku menunggu di sini sampai Mas Aham keluar dari ruangan itu. Ingat, jika lebih dari 3 menit dia nggak keluar juga, maka aku yang masuk ke dalam sana dan memarahinya." Tunjukku pada pintu ruangan yang tertutup.

Aaron mengangguk mantap, dan ada raut lega di wajahnya. Setelah itu berbalik dan masuk ke dalam ruang rapat dengan gerakan cepat.

Kupikir akan lama menunggu, ternyata baru aja terlewat 1 menit, Mas Aham sudah keluar dari pintu ruang rapat.

"Kenapa tidak memberi kabar kalau mau ke sini?" Tanyanya datar. "Mas sedang rapat, sebaiknya kamu tunggu Mas di ruang kerja seperti biasanya." Sambungnya.

"Skip dulu rapatnya atau Shikha pulang aja?" Tanyaku memberi pilihan tanpa mengindahkan ucapannya.

Dia seperti sedang menahan kesal. Aku cuma melirik dengan gestur santai. Awas aja kalau dia ngebentak aku. Aku nggak akan segan pulang ke Indonesia hari ini juga. Karena aku nggak suka dibentak. Aku nggak suka dikasari. Mas Aham yang kukenal bukan orang yang suka ngebentak dan kasar.

Sepersekian detik menunggu, akhirnya dia meninggalkan ruangan itu dan menggandeng tanganku menuju elevator. Sambil berucap, "Katakan pada Aaron, rapat ditunda sampai jam makan siang selesai."

Mbak Midy yang mendengar perintah sang atasan, langsung mengangguk dan segera masuk ke dalam ruang rapat.

Di sisi lain, aku merasa lega sekali karena Mas Aham nggak ngebentak aku. Dia lebih memilih diam sepanjang kami menuju ruangan pribadinya. Bisa kurasakan genggamannya begitu kuat di tanganku. Aku pun berinisiatif mengelus bahu kirinya yang bisa aku jangkau. Lalu mengusap punggung tangan kirinya yang menggenggam tangan kananku.

"Mas jangan marah-marah, nanti kena serangan jantung mendadak. Shikha nggak mau jadi janda, ya." Ucapku sambil menahan senyum geli.

Aku sebenarnya mau ketawa. Konyol aja gitu kan, situasi lagi tegang begini malah sempat-sempatnya melontarkan kalimat lelucon. Dia hanya diam, lalu melirikku sekilas. Setelahnya kembali fokus dengan pandangan mata ke depan.

"Singa jantan kalau udah ngamuk, serem ya." Ucapku lagi. Tapi dia tetap diam saja. "Mas, aku bawa dua menu hari ini. Pilih salah satu mau makan yang mana dulu. Shikha atau rendang?" Tanyaku dengan menampilkan senyum manis.

Walau mukaku tertutup cadar, aku yakin dia bisa melihat eye smile-ku yang kutunjukkan.

Bisa kulihat kedua bola matanya melotot dan genggaman tangannya mengetat. Hanya sebentar, setelahnya kembali mengendur. Walau tampak sudah lebih santai, Mas Aham nggak ngomong apa-apa juga.

Sesampainya di dalam ruangan Mas Aham, pria itu langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya. Lalu menghubungi seseorang.

"Rapat ditunda sampai besok. Tolong kau atur ulang jadwalnya. Dan satu lagi, untuk saat ini jangan ke ruangan saya dulu. Saya tidak ingin diganggu oleh siapapun."

Setelahnya dia langsung menutup sambungan telepon. Lalu mengunci pintu ruangannya. Dan....

"Kita ke kamar sekarang." Serunya lalu menggamit tanganku menuju kamar pribadi yang berada di salah satu sisi ruangannya ini.

Aku nggak ngebantah atau menolak. Justru aku malah senyum-senyum nggak jelas. Priaku emang benar-benar, ya.

♡♡♡

Istrinya Tuan JeniusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang