Liburan musim panas telah berakhir, dan hari ini kegiatan belajar mengajar kembali dimulai. Seperti biasa, kalau Mas Aham nggak sibuk dan mengharuskan dia berangkat pagi, maka dia akan sempatkan waktunya sebentar untuk mengantarku ke kampus.
"Kerjaan Mas gimana hari ini?" Tanyaku. Saat ini kami sedang di perjalanan menuju kampus.
"Hari ini ada rapat, setelah makan siang. Makanya pagi Mas masih bisa santai dan sempatin mengantarmu." Jawabnya.
"Pulang dari kantor jam berapa?" Tanyaku lagi.
Sebenarnya pertanyaan itu sederhana banget. Cuma aku memang sudah membiasakan diri untuk bertanya tentang kegiatan Mas Aham baik saat kami berangkat, maupun ketika sudah pulang nanti. Biasanya kami akan bercerita tentang kegiatan kami saat akan tidur malamnya. 'Pillow talk' istilahnya.
"Seperti biasa. Sekitar pukul 5 sore."
"Kayaknya konsisten, ya. Kalau dipikir-pikir lagi, aku lihat Mas nggak pernah lembur di kantor. Pasti kalau ada kerjaan yang belum selesai, bakal dibawa pulang ke rumah."
"Mas belum kasih tahu ya, sebelum kamu datang, Mas justru lebih suka lembur di kantor? Makanya di ruangan Mas ada kamar pribadi untuk istirahat. Kalau sudah terlalu larut, Mas memilih tidur di sana saja. Daripada pulang dalam keadaan mengantuk."
Aku terkekeh mendengar ceritanya.
"Jadi, setelah Shikha ada, Mas jadi lebih suka pulang lebih awal, gitu ya? Karena udah ada istri yang nunggu di rumah, mau nggak mau nggak sampai lembur di kantor." Balasku sambil tersenyum geli.
"Iya. Sampai karyawan Mas aja merasa heran. Bahkan nggak cuma Mas yang nggak lembur. Sebisa mungkin para karyawan juga tidak boleh bekerja lewat dari pukul 5 sore. Jika pun mengharuskan mereka lembur, maka harus ada surat perintah yang jelas dari atasan. Dan itu harus dilaporkan pada bagian humas."
"Wew! Idealis banget, Mas." Tanggapku.
"Entahlah! Tapi yang jelas, Mas harus adil. Dan itu memang sudah sesuai dengan standar berdasarkan peraturan pada SK tentang durasi kerja karyawan."
"Iya, aku ngerti kok maksudnya. Aku makin yakin deh, Mas Aham orang yang memang amanah. Meski pun Mas nggak menginginkan posisi seperti sekarang ini, tapi Mas masih mampu bersikap profesional. Shikha bangga punya suami kayak Mas Aham. Nggak nyesel pokoknya. Untung Mas Aham bukan kakak kandung Shikha. Kalau iya, pasti Shikha bakal cemburu sama istrinya Mas Aham." Ucapku sambil mencolek bahu kokoh Mas Aham. Sedangkan pria itu justru terkekeh geli melihat tingkahku.
Sesampainya di kampus aku langsung disambut antusias oleh Oline dan Yusuf. Hanya saja mereka akan berubah jadi lebih kalem saat berhadapan langsung dengan Mas Aham. Tahu sendiri lah, muka Mas Aham kan, nyeremin. Kalau udah dalam mode datar tanpa senyum sedikit pun, aura intimidasinya langsung keluar.
"Selamat pagi, Mr. Matthiew." Sapa Oline dan Yusuf berbarengan.
"Ya, selamat pagi." Balas Mas Aham datar, dan menoleh sekilas ke arah mereka.
Aku udah senyum-senyum nggak jelas melihat kelakuan mereka bertiga. Yang dua keliatan sungkan, lebih tepatnya takut. Sedangkan yang satu, kaku kayak kanebo kering.
"Mas pergi dulu ya, Dek. Jangan lupa kasih tau kalau sudah mau pulang." Seru Mas Aham tiba-tiba.
"Iya, Mas hati-hati. Jangan ngebut-ngebut. Shikha nggak mau jadi janda ya, kalau terjadi sesuatu sama Mas."
"Mulutnya, ya." Sahutnya dengan tatapan tajam. "Do'akan saja Mas yang baik-baik. Tidak usah bicara yang aneh-aneh." Tambahnya lagi.
Aku cuma cengengesan menanggapinya. Kulirik sekilas Oline dan Yusuf. Keduanya kompak menglihkan perhatian ke arah lain. Ke mana saja, asalkan tidak ke arah aku dan Mas Aham.
Kayaknya mereka rada gimana gitu ya, ngeliat pasangan suami istri yang lagi ngobrol. Apa lagi aku dan Mas Aham ngomongnya pakai Bahasa Indonesia. Mana ngerti, mereka.
"Iya, Mas. Shikha cuma becanda kok."
Mas Aham menghela napas sejenak sebelum meraih tubuhku dan menenggelamkannya di dalam dekapan hangatnya.
"Mas ke kantor ya, Sayang. Baik-baik kamu di sini sama mereka. Jangan bikin kelakuan yang aneh-aneh." Ucapnya lagi.
"Ishhh! Aneh gimana? Kelakuan Shikha normal-normal aja, kok." Jawabku menyangkal tuduhannya.
Padahal aku tahu, dia akan selalu mendapatkan informasi yang akurat dari Mbak Midy. Ditambah dengan Oline yang aku ketahui sering kontakan sama Aaron. Aku baru tahu kalau Oline adalah adiknya Aaron. Pantas aja Oline memang harus dilibatkan dalam urusan menjagaku. Kalau nggak, siap-siap nasib sial menimpa mereka berdua.
Nggak, Mas Aham nggak akan berubah jadi CEO kejam kok. Paling kebun anggur keluarga Oline dibeli sama dia, trus dialih fungsikan menjadi pure kebun anggur biasa tanpa ada pabrik minuman anggur usia ratusan tahun.
Oh, ya. Mengenai itu, aku udah pernah nanya ke Mas Aham. Trus jawabannya kurang begitu memuaskan menurutku. Katanya nggak bisa langsung distop gitu aja. Karena ya, mayoritas pelanggan hotel dan restoran orang-orang borjuis yang non muslim.
Jadi, agak sulit jika keinginan mereka tidak dipenuhi. Contohnya ketika ada pesta yang diadakan di ballroom hotel, otomatis hidangan yang disuguhkan ya salah satunya adalah minuman anggur itu. Cuma Mas Aham berusaha untuk menekan itu pelan-pelan, sampai akhirnya benar-benar bisa dihentikan 100%.
Dengan menerbitkan beberapa peraturan baru, mengenai syarat dan ketentuan khusus dibolehkannya ada suguhan minuman anggur itu. Salah satunya adalah ketika di ruangan tempat diadakannya pesta, nggak boleh ada anak di bawah usia 17 tahun.
Kemudian sebagian produk dialihkan ke tempat lain. Ke restoran atau hotel yang pemiliknya adalah memang orang non muslim. Tentunya itu nggak berdasarkan dari keputusan pihak Mas Aham aja. Sebelumnya dia sudah melakukan diskusi dulu dengan pemilik pabrik anggur. Sambil mencari solusi yang nggak akan merugikan satu di antaranya.
Jika memang ada kerugian di pihak pabrik, maka pihak perusahaan Mas Aham akan mengganti rugi. Bahkan Mas Aham sempat menyarankan untuk membuat pabrik minuman atau makanan yang berbahan dasar anggur. Misalnya jus anggur kemasan. Menurutku itu jauh lebih baik. Meski pun mungkin harus dimulai dari awal untuk menjadi sukses.
"Jadi, ceritakan tentang liburan kalian sepanjang musim panas kemarin." Ujar Yusuf, memulai obrolan. Sembari kami berjalan menuju kelas. Aku berjalan bersebelahan dengan Oline. Sedangkan Yusuf berjalan di depan kami. Sesekali dia berbalik dan berjalan mundur.
"Sepertinya aku tidak perlu bercerita. Kau tahu betul dengan rutinitasku selama beberapa tahun ini." Sahut Oline ketus.
"Ya, siapa tahu saja ada yang berbeda dari tahun lalu." Balas Yusuf dengan senyum jahil.
Oline tak menjawab, tapi kentara sekali kalau dia sedang tidak ingin bercerita tentang kesehariannya sepanjang liburan musim panas.
"Kenapa tidak kau saja yang bercerita lebih dulu?" Tanyaku.
"Boleh saja. Jadi....."
Yusuf mulai bercerita, sepanjang kami berjalan menuju kelas, hanya aku yang merespon dengan cukup antusias. Sedangkan Oline tidak banyak berkomentar. Karena menurutnya, kisah yang diceritakan oleh Yusuf, masih sama saja dengan yang tahun lalu.
Setelah Yusuf selesai, barulah tiba giliranku. Saat aku ceritakan tentang keromantisanku bersama Mas Aham di kebun anggur milik keluarga Oline, dia langsung berdecak sebal. Katanya membuat kupingnya panas. Sebab ia tidak memiliki pacar atau istri yang bisa diajak bermesraan. Dan aku hanya bisa tertawa mendengarnya. Ada-ada saja cowok yang satu itu.
♡♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Istrinya Tuan Jenius
Humor21+ pokoknya. Shikha mengira, Aham adalah kakak kandungnya. Namun, setelah keduanya kedapatan tidur di dalam satu kamar, Ayah dan Bunda mereka tiba-tiba saja memutuskan bahwa mereka berdua harus menikah. Malam itu, Aham baru saja pulang dari studi S...