Hallo semua, maaf ya hiatusnya agak lama.... hehehehe....
Udah ah, aku males ngebacot. Kalian pasti nggak bakal peduli juga.
Happy Reading.....
>>>~~~~<<<
Esok harinya, aku pun mengajak Zain pergi ke kampus. Hari ini aku memang ada jadwal dua mata kuliah. Kupikir, Zain bisa aku tinggal sendirian, sementara aku mengikuti perkuliahan. Toh anak itu memang cukup mandiri di usianya yang masih terbilang sangat muda.
Selain itu, Zain memiliki kemampuan komunikasi bahasa Inggris yang sangat baik. Jadi aku tidak perlu khawatir ia akan sulit beradaptasi di lingkungan kampus.
Sesampainya di kampus, seperti biasa pasti ada Olin dan Yusuf yang dengan setia menunggu kedatanganku.
"Selamat pagi Mr.Matthiew." Seru keduanya serempak sambil memberi hormat kepada Mas Aham. Yang dibalas senyum tipis serta anggukan kepala oleh pria itu.
"Apa kalian sudah lama menunggu?" Tanyaku berbasa-basi. Padahal aku sudah tahu betul kebiasaan mereka ini.
"Baru sekitar 5 menit. Seperti biasa." Sahut Yusuf, mewakili Olin.
Aku mengangguk paham, sebelum menengok ke dalam mobil pada bagian jok belakang. Di sana Zain masih tampak duduk tenang. Sepertinya masih enggan keluar sebelum aku memintanya.
"Zain, keluarlah. Kenapa masih diam?"
Tanpa menyahuti pertanyaanku, Zain langsung keluar dari dalam sana. Sontak kemunculan Zain tersebut membuat Olin dan Yusuf memasang ekspresi bertanya-tanya. Tentu saja mereka penasaran pada sosok Zain yang baru pertama kali ini mereka jumpai.
"Perkenalkan, ini Zain. Adikku. Zain, ini Olin dan Yusuf. Temen Mbak di fakultas." Seruku memperkenalkan mereka bertiga.
Dengan sopan Zain menyalami Yusuf, dan tersenyum tipis ke arah Olin yang tanpa sadar mengulurkan tangan ke arah Zain. Namun tak disambut baik oleh bocah itu.
"Oh, maaf. Aku lupa, kau pria Muslim." Ucap Olin dengan kalimat terbata-bata.
Ia tampak salah tingkah. Ada-ada saja, perempuan satu ini. Apa mungkin karena tampang Zain yang cakep dan perawakannya yang tinggi tegap, sehingga tanpa sadar membuat Olin terpesona? Ya, sekilas adikku ini tidak seperti remaja berusia 15 tahun. Tinggi badannya saja melebihi aku, meski pun tidak melebihi Mas Aham. Kalau mereka berdua disandingkan, masih lebih gagah Mas Aham.
Zain ini badannya tinggi tapi agak cungkring. Sedangkan Mas Aham, udah tinggi, ototnya di mana-mana. Aku kalau berdiri di dekatnya pasti kelihatan kayak bapak sama anak remajanya. Salah siapa badanku kecil? Padahal Ayah juga sebelas dua belas sama Mas Aham. Kayaknya aku nurun dari Bunda yang juga punya badan kecil.
"Mas tinggal, ya. Soalnya sebentar lagi ada meeting dengan semua dokter spesialis. Zain, Mas titip Mbakmu." Seru Mas Aham, sembari mengecup keningku beberapa detik. Lalu melambaikan tangannya sekilas pada Olin dan Yusuf yang dibalas anggukan serta senyum ramah oleh keduanya.
Aku dan Zain serempak menggangguk. Sebelum Mas Aham masuk kembali ke dalam mobil dan melesat menuju rumah sakit.
"Mbak tinggal nggak papa kan? Tadi Mbak udah kirim peta digital kampus ini lewat chat. Kamu bisa jalan-jalan sendiri sambil survei setiap bangunan di area sekitar sini. Tapi di sini kamu cuma bisa ketemu Fakultas Kedokteran. Yang lainnya terpisah cukup jauh. Kalau mau eksplor lebih banyak, kamu tunggu Mbak selesai kuliah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Istrinya Tuan Jenius
Humor21+ pokoknya. Shikha mengira, Aham adalah kakak kandungnya. Namun, setelah keduanya kedapatan tidur di dalam satu kamar, Ayah dan Bunda mereka tiba-tiba saja memutuskan bahwa mereka berdua harus menikah. Malam itu, Aham baru saja pulang dari studi S...