Aku mau nanya dong, dari sekian ratus viewers "ISTRINYA GURU BESAR" dan "ISTRINYA TUAN JENIUS", menurut kalian persamaan dan perbedaan cerita keduanya itu apa? Misalnya alur, segi watak/karakter, latar, dll.
Kalau seandainya mau dibandingkan, kalian lebih suka yang mana? (Kasih alasan yang menurut kalian masuk akal).Pendapat kalian itu bisa membantu aku menemukan beberapa hal yang mungkin nggak sesuai dengan dunia nyata. Itu berguna sekali buat aku agar aku bisa menjadi lebih baik lagi nanti ke depannya.
♡♡♡
Siangnya aku pun memenuhi janjiku pada Mas Aham, janji membawakan makan siang untuknya. Aku diantar oleh supir pribadi. Sepanjang perjalanan aku memandang ke arah luar jendela.
Jam segini jalan utama memang terlihat lengang, karena banyak pekerja kantoran yang masih sibuk dengan kegiatan masing-masing di ruangan kerja. Meski pun saat ini sudah mendekati jam makan siang, tapi kebanyakan dari mereka memilih makan sambil tetap menatap layar monitor komputer.
Tapi aku yakin Mas Aham bukan jenis manusia yang seperti itu. Jika pria itu melakukan suatu kegiatan, maka dia akan fokus pada hal itu saja. Dan sejauh yang aku pahami, laki-laki memiliki cara kerja otak yang berbeda dari wanita. Menurut dr. Aisah Dahlan, otak laki-laki tidak bisa mengkoordinir tubuhnya seperti wanita. Jika wanita adalah makhluk multi tasking, maka pria adalah makhluk yang hanya mampu fokus pada satu hal saja.
Sesampainya aku di depan lobi kantor, seseorang sudah menyambutku dengan hormat. Beberapa orang juga sempat menyapa sambil mengangguk sopan ke arahku, salah satunya adalah mbak resepsionis yang berdiri di depan mejanya.
"Selamat siang, Mrs. Matthiew. Mari ikut bersama saya. Mr. Matthiew sudah menunggu Anda di ruangan beliau." Ucap orang yang menyambutku.
Dia seorang wanita berpakaian ala bodyguard. Wanita ini sering aku lihat di berbagai kesempatan. Saat aku berada di kampus atau ketika aku sedang berada di kafe saat nongkrong bersama Oline dan Yusuf.
Aku pernah mengadu pada Mas Aham, kalau aku sering diikuti oleh seorang wanita berambut pendek. Meski pun selama kegiatanku itu wanita itu nggak memakai setelan seperti saat ini. Dan Mas Aham mengatakan dengan santai bahwa wanita itu adalah bodyguard yang ia sewa khusus untuk mengawasiku selama aku berada jauh dari jangkauannya. Perannya agak lebih tersembunyi dibanding Oline yang secara terang-terangan.
"Mr. Aaron, apa Mr. Matthiew ada di ruangan?" Tanya wanita tadi, ketika kami sudah sampai di depan ruangan Mas Aham.
"Sure. Kau boleh pergi. Terimakasih, Midy." Sahut Aaron, datar. Midy mengangguk, lalu membungkuk sebentar di depanku, lalu pamit pergi.
Aaron mengetuk pintu ruangan Mas Aham. Setelah ada sahutan dari dalam, Aaron membuka pintu tersebut.
"Silakan, Nona. Tn. Matthiew sudah menunggu Anda." Ucap Aaron, sambil menunduk, seperti tidak berani memandang langsung ke wajahku.
Aku mengangguk saja, dan langsung masuk ke dalam.
"Assalamu'alaikum, Mas." Ucapku, ketika sudah masuk. Lalu mendapati Mas Aham yang masih berkutat di depan layar komputer, yang melirik ke arahku sekilas.
"Wa'alaikumussalam. Kamu duduk saja dulu. Sebentar lagi Mas selesai." Balasnya, lalu memintaku duduk di kursi sofa yang ada di dalam ruangannya ini.
Aku meletakkan tas bekal di atas meja sofa. Lalu mengeluarkan kotak bekal satu per satu. Sebelumnya aku telah memesan masakan pada koki pribadi keluarga Matthiew. Salah satunya adalah masakan khas Indonesia dengan bahan sadar daging sapi. Yaitu rawon.
Untung saja, gudang penyimpanan makanan selalu menyimpan bahan-bahan secara lengkap. Sehingga ketika kami meminta dimasakkan sesuatu secara tiba-tiba, maka tidak repot lagi untuk membelinya ke supermarket. Sebagian juga adalah bahan-bahan import dari Asia Tenggara. Seperti rempah-rempah dengan variasi lengkap, kebutuhan untuk membuat makanan ala Asia.
Aku yang nggak terlalu jago masak sangat terbantu ketika ingin membawakan makan siang untuk Mas Aham seperti ini.
Sekitar 10 menit aku menunggu, Mas Aham akhirnya selesai dengan pekerjaannya. Dan menyusulku duduk di sofa.
"Kamu bawa menu apa?" Tanya Mas Aham.
"Rawon, kayak yang Mas minta tadi pagi." Jawabku.
"Kamu yang masak?"
"Nggak mungkiiiiin. Shikha belum sehebat itu. Tadi minta tolong sama koki di rumah." Bantahku jujur. Ngapain juga aku ngaku-ngakuin makanan ini adalah hasil masakanku. Kasian kokinya yang tadi udah cape bikinin.
"Ya sudah. Mas lapar ini. Tolong disiapin dulu."
"Mas mau aku suapin sekalian?" Tanyaku cengengesan. Sambil menyiapkan makanannya. Memindah nasi putih ke dalam mangkuk beserta bahan pelengkapnya. Lalu menyiraminya dengan kuah berwarna hitam yang sudah ada potongan daging sapi di dalamnya.
"Mas bukan anak kecil lagi, Dek. Dan tangan Mas masih berfungsi dengan baik." Katanya, yang tentunya itu adalah sebuah penolakan secara tersirat.
Aku berdecak sebal. Aku kan, cuma nawarin. Dia malah ngejawab dengan nada seperti berbicara dengan rekan kerja.
"Mas, ih. Bisa nggak, kalau ngobrol sama aku itu yang agak lembut gitu? Shikha itu istri Mas. Bukan karyawan atau kacungnya Mas." Ucapku ketus. Setelahnya bergumam pelan. "Nggak aku kasih jatah, baru tau rasa loh."
Kulirik wajahnya. Ekspresinya langsung berubah melembut.
"Dek, jangan gitu lah. Sudah cukup, Mas sudah pernah merasakan hampir 3 bulan waktu kita LDR itu." Serunya memelas.
Masih dengan gaya macho, ya. Bukan kayak Om Miko, sepupunya Ayah yang menye-menye itu.
Saking bucinnya sama Tante Lele, apa aja serba tentang Tante Lele diduluin dari pada yang lain. Untungnya Tante Lele orangnya apa adanya. Nggak ngambil kesempatan dalam kebucinan Om Miko. Maksudnya dalam kesempitan.
"Ya makanya kalau ngobrol sama istri, dikondisikan, dong. Mukanya Mas Aham itu seram. Kalau lagi 'nganu', aku masih anggap wajar, karena Mas lagi keenakan. Kalau dalam keadaan biasa kayak gini harus lebih lembut. Biasa aja gitu."
Duh Shikha, kok pembahasannya malah makin melebar ke mana-mana, sih. Batinku merutuk ucapanku tentang 'nganu'.
Aku baru sadar loh, kalau Mas Aham itu mudah banget kepancing. Aku nggak ngerti apakah itu masih wajar atau nggak. Tapi kalau menurut sepengetahuanku, isi otak laki-laki tentang 'nganu' hampir memenuhi 50%nya. Cuma karena seimbang dengan akal sehat, maka mereka masih bisa menahan diri.
"Iya, Sayang. Tidak akan diulangi lagi." Mas Aham mendekat dan hendak memelukku.
"Janji dulu, baru peluk." Seruku, sambil mengacungkan jari kelingking di depan wajahnya.
"Janji." Balasnya, sambil menautkan jari kelingking kami berdua. Kemudian setelahnya memelukku dengan durasi yang singkat.
Mengingat kami sedang berhadapan dengan makanan. Isi perut dulu, lah. Baru nanti dilanjut lagi bermanja-manjanya.
"Tapi ingat, itu nggak hanya berlaku sampai di sini aja. Sewaktu-waktu kalau Mas Aham bikin salah, aku nggak akan segan-segan ngasih hukuman."
"Nolak suami itu dosa loh, Dek."
Aku mendelik nggak suka. Aku tau kok, soal itu. Tapi kalau seandainya aku nggak ikhlas, gimana? Pastinya aku nggak akan bisa maksimal, ngelayani dia. Dianya juga nanti yang nggak puas.
Shikha, ngomong apa lagi sih, kamu?
Otak hamba, Ya Allah.
♡♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Istrinya Tuan Jenius
Humor21+ pokoknya. Shikha mengira, Aham adalah kakak kandungnya. Namun, setelah keduanya kedapatan tidur di dalam satu kamar, Ayah dan Bunda mereka tiba-tiba saja memutuskan bahwa mereka berdua harus menikah. Malam itu, Aham baru saja pulang dari studi S...