Aku menatap wajah Mas Aham yang tampak lelah. Seharian ini dia pasti bekerja sangat keras. Katanya ada jadwal meeting dengan 2 klien yang berbeda dengan waktu yang berbeda pula. Selain itu dia juga terjun langsung ke lapangan untuk memastikan tidak adanya data yang dimanipulasi oleh pihak yang nggak bertanggung jawab.
"Capek banget, Mas?" Tanyaku, sambil mengusap rambut tebal Mas Aham yang saat ini tengah berbaring dengan kepala berbantalkan pahaku.
"Tadi iya. Tapi sekarang sudah berkurang." Jawabnya dengan suara yang terdengar agak berat, lalu mengeratkan pelukan pada pinggangku serta wajahnya yang ia tenggelamkan di depan perutku.
"Kok bisa?" Tanyaku heran. Padahal baru tadi sore dia pulang, itu pun nggak langsung istirahat. Dia musti mandi sama ganti baju dulu, trus masih sempet-sempetnya ngecek email di HP.
"Tentu saja bisa. Perlu kamu ketahui, ketika seorang suami yang pulang dari bekerja dalam keadaan lelah, obat yang paling mujarab adalah istrinya yang menyambut suaminya dengan senyum penuh perhatian."
"Emang tadi aku kayak gitu?" Tanyaku nggak ngerti.
Perasaan pas dia datang tadi aku biasa-biasa aja. Malahan emang udah jadi rutinitasku sejak awal kami menikah. Biasanya kalau Mas Aham pulang kerja, aku langsung menyambut kedatangannya sambil tersenyum lalu meluk dia sebentar. Setelah itu kami akan masuk ke kamar dengan tanganku yang menggandeng tangannya.
"Mas heran deh, sama kamu. Cantik-cantik kok, lemot? Padahal sudah tidak bisa dibilang gadis polos lagi." Ucapnya, sambil menatapku dengan heran.
"MAKSUDNYA?" Tanyaku ngegas. Kupelototi dia. Tapi malah aku yang langsung kicep pas liat ekspresinya yang nggak kalah seram dari aku.
"Suaranya, ya." Tegurnya.
Aku hanya cengengesan menanggapinya.
"Mas baring pakai bantal, ya. Shikha udah ngantuk, pengen rebahan juga." Keluhku. Karena mataku memang udah ngantuk banget. Waktu juga udah menunjukkan pukul 10 malam. Besok aku ada kuliah pagi.
Mas Aham nggak ngomong apa pun. Tapi dia langsung duduk dan bergeser sedikit ke kanan, lalu berbaring di bantalnya sendiri. Aku pun menyusul berbaring di sebelah kirinya. Aku sudah akan memejamkan mataku, tapi tiba-tiba Mas Aham langsung memelukku dari samping.
"Nggak minta jatah kok, cuma mau peluk kamu." Katanya, saat tubuhku tiba-tiba langsung menegang.
Ya gimana aku nggak negative thinking, coba? Mas Aham itu suka langsung nyerang tanpa diskusi dulu. Bahkan dia hapal betul jadwal menstruasiku. Kalau udah bersih dia langsung gercep. Please deh, kalau aku nggak pakai alat kontrasepsi, mungkin saat ini aku udah hamil.
"Nggak usah yang aneh-aneh, ya. Shikha ngantuk banget. Pengin langsung tidur." Kataku memperingatinya.
Mas Aham mengangguk lalu mengeratkan pelukannya di tubuhku.
"Dek!" Panggil Mas Aham saat aku udah menutup mataku.
"Hmmm?"
"Buka dikit, ya." Pintanya sambil meraba-raba baju piyamaku bagian depan dada.
"Ngapain?" Tanyaku balik, dengan mata masih tertutup. Males banget aku ngebuka mata. Ngantuk banget, tau.
"Mau uyel-uyel."
Ya Allah, suami hamba kok gini amat?
"Kenapa mau diuyel-uyel?" Tanyaku heran. Masa iya cuma diuyel-uyel. Apa faedahnya, Udin?
"Tidak bisa tidur kalau belum uyel-uyel dada kamu. Enak, empuk sama kenyal-kenyal. Kayak squeeshy."
"Hah?"
Kenapa aku berasa kayak ngobrol sama balita, ya?
Tobat, aku tobat. Ya Allah, Mas Aham kenapa begini?
Dan pada akhirnya aku pasrah digrepe-grepe sama dia. Meskipun butuh perjuangan agar aku bisa benar-benar tidur dengan nyenyak.
♡♡♡
Sarapan kami pagi ini adalah sepiring pancake dengan jus buah. Sarapan ala Barat. Dan sehat tentunya. Aku kalau di rumah Ayah sama Bunda sarapannys pasti udah makan nasi. Di sini musti nunggu pas waktu makan siang aja kalau mau makan nasi. Tapi nggak papa lah. Nanti aku makan lagi di kantin bareng Oline dan Yusuf. Untungnya di kantin fakultas ada tersedia stand penjual makanan halal.
"Hari ini kegiatan kalian apa saja?" Tanya Daddy Joseph. Di meja makan hanya ada kami bertiga. Daddy duduk di ujung kepala meja, selaku kepala keluarga. Sedangkan aku dan Mas Aham duduk di sisi kirinya.
"Saya ada jadwal meeting dengan pihak investor, membahas tentang proposal yang kemarin sudah diajukan. Lalu setelahnya mengurus beberapa berkas yang menyangkut hal itu." Jawab Mas Aham lebih dulu.
"Shikha hari ini kuliah dari pukul 9 pagi sampai 4 sore. Ada teori dan juga praktek." Jawabku.
"Kalian berdua berangkat bersama?"
"Iya." Jawab Mas Aham singkat.
Entah kenapa setiap Mas Aham mengobrol dengan Daddy Joseph itu kayak yang kaku banget gitu. Dia tuh kayak nggak terlalu suka berbasa-basi sama Daddy Joseph. Bicara kalau ada perluanya aja. Ditanya, jawabnya singkat banget. Dan paling susah kalau mau memulai obrolan.
Contohnya kayak waktu sarapan bareng gini. Pasti selalu Daddy Joseph yang memulai obrolan. Dan aku yang sering menanggapi ucapan beliau. Mas Aham kalau menurutnya nggak penting untuk ikut dia bahas, pasti cuma diam.
"Daddy hari ini cek kesehatan lagi?" Tanyaku, berusaha memecah kekakuan.
Mereka berdua ini nggak asyik banget. Yang satu pasif, yang satu masih sungkan. Ya maklum aja, keduanya kan baru ketemu pas Mas Aham udah dewasa. Pasti rasanya sangat canggung bagi keduanya. Terutama Daddy Joseph yang kudengar dari ceritanya kalau beliau dulu nggak tanggung jawab pas tahu Mommy Fridha hamil Mas Aham.
Tapi pas udah tau Mommy Fridha meninggal, Daddy Joseph sempat depresi. Kata Aunty Sophia, Daddy Joseph merasa sangat bersalah. Intinya tu, selama Mommy Fridha mengandung sampai ngelahirin Mas Aham, Daddy Joseph nggak ada di samping beliau untuk nemenin.
Aku jadi mellow kan, kalau ingat ceritanya. Sedih banget nasib Mommy Fridha. Mas Aham juga, karena dia lahir dan tumbuh tanpa tahu siapa ayahnya.
"Ada apa?"
Aku tersadar dari lamunanku. Mendengar seruan Mas Aham yang ngebas tepat di sampingku. Rupanya aku nggak memperhatikan lagi Daddy Joseph ngomong apa tadi.
"Nggak apa-apa." Jawabku singkat, lalu mengalihkan pandanganku ke arah lain. Malu tau, ketahuan nangis.
Kudengar Daddy Joseph terkekeh pelan. Mungkin beliau sadar kalau aku lagi mikirin nasib beliau yang harus dibantu dalam kesehariannya. Juga keadaan beliau yang udah nggak sehat lagi. Harus rutin cek kesehatan, dan masih harus mengonsumsi obat-obatan tanpa henti.
"Saya sudah selesai." Ucap Mas Aham, lalu berpamitan untuk pergi lebih dulu. "Saya permisi lebih dulu."
"Kenapa tidak menunggu di sini saja sampai istrimu selesai, Aham?" Tanya Daddy.
Mas Aham tampak berpikir sebentar sebelum mengangguk samar.
"Jangan terburu-buru, Nak. Suamimu saja yang makannya terlalu cepat." Ucap Daddy Joseph perhatian.
Iya ih. Tau tuh, Mas Aham. Kalau udah makan bareng Daddy Joseph tuh, bawaannya pasti mau cepat-cepat. Makanya, biasanya aku yang masih setia nemenin Daddy, jalau pas lagi makan bareng kayak gini. Mas Aham udah kabur dan hilang entah ke mana.
♡♡♡
Jujur ya, aku paling suka sama cerita Shikha dan Aham. Ceritanya ringan dan penuh dengan keuwuwan. Bayangin gitu kan, karakter Shikha yang agak kekanakan, kelewat polos dan selalu tampil ceria di setiap kesempatan, ketemunya sama Aham yang kaku kayak kanebo kering.
Tapi, sekaku-kakunya Aham, dia masih bisa bersikap manis walau sebenarnya dia nggak sadar. Dengan segala kekakuannya itu, dia masih perhatian sama istrinya.
Kasih vote and comment, ya. Yang banyaaaaaaaaaak
😘😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Istrinya Tuan Jenius
Humor21+ pokoknya. Shikha mengira, Aham adalah kakak kandungnya. Namun, setelah keduanya kedapatan tidur di dalam satu kamar, Ayah dan Bunda mereka tiba-tiba saja memutuskan bahwa mereka berdua harus menikah. Malam itu, Aham baru saja pulang dari studi S...