Seperti kebanyakan wanita di dunia ini. Aku adalah salah satu di antara jutaan wanita yang memiliki kekhawatiran yang tinggi terhadap kelangsungan rumah tangga yang sudah susah payah dibangun bersama. Namun hancur sebab adanya orang ke tiga.
Apa yang aku pikirkan adalah hal yang wajar. Namun, terkadang kita pun harus bisa menempatkan perasaan khawatir itu berdasarkan kapasitasnya masing-masing. Tidak salah jika kita ingin menjaga apa yang sudah menjadi milik kita. Tapi, jika kita terlalu menjaga, suatu saat nanti ia akan memberontak dan memilih melepaskan diri.
Sama halnya dengan kaum pria. Mereka lebih cenderung ingin dihargai dan dihormati sebagai mana sosok yang mampu melindungi wanita yang sejatinya lemah. Rasa percaya adalah bukti bahwa wanita sangat bergantung pada seberapa besar kejujuran yang berusaha dia jaga dengan sepenuh hati.
"Dek."
Aku terkesiap, ketika tangan Mas Aham menyentuh kepalaku sembari berseru memanggilku. Aku menoleh, dan mendapati wajah Mas Aham yang masih menghadap ke depan.
"Kamu marah?" Tanyanya lembut.
Lihatlah, pria yang aku ragukan kesetiaannya, justru masih tetap bersikap lembut padaku. Nggak bisa kubayangkan kalau dia malah akan bersikap cuek karena merasa kecewa akan sikapku saat di rumah sakit tadi.
"Nggak, Shikha nggak marah. Shikha cuma lagi mikir. Ternyata Shikha cuma terlalu khawatirin sesuatu yang sebenarnya belum tentu terjadi. Shikha minta maaf ya Mas karena udah mikir yang nggak-nggak."
Mas Aham mengangguk dan nggak membalas ucapanku lagi, hingga kami sampai rumah. Alias mansion keluarga Matthiew.
Saat memasuki pintu utama, aku dan Mas Aham berpapasan dengan Daddy Joseph. Beliau saat ini sudah mampu berjalan meski masih menggunakan alat bantu sebuah tongkat.
"Assalamu'alaikum, Dad."
"Wa'alaikumsalam. Kalian baru pulang? Bagaimana tadi konsultasinya? Apakah berjalan lancar?" Tanya Daddy Joseph beruntun. Mungkin karena saking antusiasnya.
"Semuanya baik-baik saja. Dan berjalan dengan sangat lancar. Dokter Farah mengatakan bahwa Shikha sehat. Mas Aham juga. Jadi, kami bisa memulai program hamil secepatnya." Jawabku malu-malu.
"Syukurlah kalau begitu. Daddy senang mendengarnya." Balas Daddy lagi.
"Kami ke kamar dulu, Dad. Shikha sepertinya sudah lelah." Celetuk Mas Aham, tanpa mengubah ekspresinya yang datar itu. Ya ampun, sama ayah sendiri masih saja bersikap seperti itu.
Daddy mengangguk sembari tersenyum maklum.
Kami masuk ke kamar dan segera membersihkan diri. Untuk menghemat waktu, aku dan Mas Aham mandi bersama.
"Tolong gosokin yang di belakang dong Mas." Pintaku, karena tanganku nggak bisa menggapai bagian punggung.
Mas Aham menyabuni bagian punggungku. Gerakannya nggak terlalu lembut tapi nggak terlalu kasar juga. Sekiranya nggak bikin horni. Hahaha.
Aku juga melakukan hal yang sama pada punggung tegap Mas Aham. Duh, jadi salah fokus kan. Dari pertama kali aku melihat punggung ini sampai sekarang, bentuknya masih sama. Kadang aku suka nyender di situ karena saking nyamannya. Kalau Mas Aham paling suka waktu nyender di situ kalau kami sama-sama shirtless. Bayangin aja kan, benda kenyal milikku nempel di punggungnya yang duh ileh, so sexy itu.
"Dek, jangan mancing-mancing." Serunya serak. Lalu berbalik menghadapku.
Aku nyengir tanpa merasa bersalah sedikit pun.
"Udah, kok Mas. Shikha mau ngebilas badan dulu. Trus mau ambil wudhu. Tadi udah adzan Dzuhur. Nanti nggak sempet sholat loh." Elakku, agar bisa menghindar dari tatapan berbahaya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istrinya Tuan Jenius
Humor21+ pokoknya. Shikha mengira, Aham adalah kakak kandungnya. Namun, setelah keduanya kedapatan tidur di dalam satu kamar, Ayah dan Bunda mereka tiba-tiba saja memutuskan bahwa mereka berdua harus menikah. Malam itu, Aham baru saja pulang dari studi S...