5. Istighfar Banyak-Banyak, Shikha!

21.8K 1K 18
                                    

Aku memasuki kelas, dengan nafas yang terasa ngos-ngosan. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan, berharap menemukan sosok yang aku cari. Tidak lama, hanya beberapa detik saja kulihat ada satu orang yang melambaikan tangannya ke arahku. Itu Ayana, teman seperjuanganku sejak masa orientasi mahasiswa. Dia duduk di kursi pada barisan nomor 3 dari depan. Kulihat tangannya menepuk-nepuk kursi tepat di sebelah kanannya.

Sebenarnya ada jarak antara satu orang dengan yang lainnya. Sekitar 1 meter. Maklum saja, dalam kondisi pandemi saat ini, mengharuskan beberapa fasilitas umum menerapkan protokol kesehatan yang cukup ketat. Dari phisical distancing, sampai aturan mencuci tangan berdasarkan SOP yang sudah dipelajari sejak semester 1. Kalau bisa, setiap orang dianjurkan untuk membawa hand sanitizer di tas masing-masing.

Tanpa banyak berpikir lagi, aku pun menghampirinya dan duduk di kursi yang dia tepuk-tepuk tadi. Rupanya dia sudah datang lebih awal dan menyimpan satu kursi untukku. Karena kami memang dibagi menjadi dua sesi. Sehingga dalam satu kali pertemuan, ruangan tidak sepenuh sebelum adanya pandemi.

"Tumben, telat. Biasanya lo paling pertama yang datang." Serunya.

"Debad dulu tadi, sama Mas Aham."

"Hah? Mas Aham ada di Indonesia?" Tanya Ayana tampak antusias.

Duh, salahku kenapa malah keceplosan? Udah tau, dia itu orang yang paling heboh kalau Mas Aham pulang ke Indonesia.

"Iya." Jawabku singkat.

Untung beberapa detik kemudian kedatangan dosen, berhasil mengalihkan perhatian Ayana. Kalau terlambat dari itu, bisa habis aku di tangannya. Dia itu bisa mendadak berubah menjadi ditektif, kalau aku seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

Selesai jam kuliah pagi, aku dan Ayana pergi ke kantin. Memesan makanan, kemudian duduk di kursi yang terletak dekat meja kasir. Kami duduk saling berhadapan lalu membuka laptop masing-masing. Sambil menunggu pesanan kami datang, kami sempatkan terlebih dahulu untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen tadi.

"Hmmm." Tiba-tiba ada yang berdehem di dekat kami. Aku dan Ayana refleks menoleh ke sumber suara.

Astaga! Dia.

"Eh, Kak El." Seru Ayana cengegesan. Sementara aku hanya terpaku di tempatku. Tak tau ingin menanggapinya bagaimana. Merutuki diriku sendiri, karena jantungku yang masih saja deg-degan kalau ketemu sama dia. Padahal dia nggak tau kalau selama ini aku naksir dia.

"Kayaknya kalian sama-sama lagi sibuk, ya. Saya boleh numpang duduk di sini? Udah nggak ada meja yang kosong soalnya. Penuh semua. Beberapa kan, juga dikasih jarak. Cuma di meja kalian ini yang masih tersisa." Ujarnya, sambil memandangi aku dan Ayana bergantian. Aku yang ditatap pun hanya bisa menunduk malu-malu.

"Eh, iya Kak. Duduk aja, nggak papa kok. Masih banyak yang kosong juga tuh." Jawab Ayana nggak keberatan. Sedangkan aku hanya mengangguk sambil tersenyum ke arahnya yang memandangiku seperti sedang meminta persetujuan.

"Kalian lagi ngerjain apa?" Tanyanya tiba-tiba, setelah kami terdiam beberapa detik. Tepat setelah makanan kami datang.

"Tugas jurnal, Kak. Temanya soal isu-isu kedokteran yang sedang marak diperbincangkan saat ini." Jawab Ayana bersemangat.

Aku hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. Namun tak mengalihkan fokus pada layar laptop. Sambil sesekali menyendokkan nasi soto ke mulutku.

"Covid-19?" Tanya Kak El.

"Itu secara universal. Ada lagi yang lebih mendalam. Tentang varian baru atau turunan dari Covid-19. Yang katanya lebih berbahaya dan lebih cepat menular." Jawab Ayana lagi.

Istrinya Tuan JeniusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang