Usai makan malam, aku dan Mas Aham masuk ke kamar kami. Aku dan dia bergantian ke kamar mandi untuk bebersih. Cuci muka dan sikat gigi. Dia yang pertama, baru aku.
"Sini, duduk di sebelah saya." Perintahnya, sesaat setelah aku keluar dari kamar mandi dan sudah berganti pakaian.
Aku menurutinya, duduk di sampingnya.
"Ada apa, Mas?" Tanyaku penasaran.
"Saya mau membahas tentang rumah tangga kita. Seperti yang saya katakan tadi pagi saat mengantarmu ke kampus." Jelasnya.
"Oh...ya udah. Jadi, mau ngomongin soal apa?" Tanyaku penasaran.
"Sebelum saya mengutarakan rencana saya, bagaimana kalau kamu lebih dulu mengutarakan rencanamu ke depannya?"
Aku mengernyit, sembari menggaruk kepalaku yang sebenarnya nggak gatal sama sekali.
"Random aja, nih?" Tanyaku memastikan. Mas Aham mengangguk.
"Jujur Shikha berharap banget pernikahan kita tetap langgeng sampai akhir. Meski pun aku sendiri nggak tau gimana caranya. Yang pasti aku akan berusaha untuk menjadi istri yang baik buat Mas Aham." Jawabku rada kikuk.
Aneh rasanya tiba-tiba ngomongin masalah begituan sama Mas Aham. Wong sebelum nikah sama dia kan, aku mengira dia adalah kakak kandungku.
Dia mengangguk, lalu duduk bersila tepat mengahadapku.
"Saya mau bertanya, apa yang saat ini kamu pikirkan tentang saya?"
Duh, pertanyaan macam apa itu? Tapi jujur aja, sejak awal kami sah menjadi suami istri, banyak kekhawatiran yang melanda hatiku. Khawatir dia hanya terpaksa menikahiku, khawatir dia nggak sayang atau mungkin nggak akan pernah cinta sama aku, khawatir dia punya wanita idaman lain, bahkan khawatir aku diceraikan olehnya.
Banyak hal yang aku pertimbangkan, sebelum aku tau bagaimana hati dan perasaannya padaku. Salah satu kekhawatiran terbesarku adalah jika seandainya aku hamil, lalu melahirkan seorang anak, tapi pada akhirnya Mas Aham menjatuhkan talak padaku. Bagaimana nasib anak itu nanti? Aku nggak rela kalau dia harus hidup dalam pernikahan orangtua yang hancur. Walau bagaimana pun, aku memimpikan pernikahan yang harmonis dan penuh cinta di dalamnya.
"Nggak tau. Mas nggak pernah bilang apa pun setelah kita sah jadi suami istri. Semua terasa sama saja seperti sebelum Mas Aham pergi ke luar negeri. Bedanya hanya pada status dan kondisi kita berdua yang terasa canggung satu sama lain." Jawabku setengah jujur.
Aku nggak mungkin langsung bilang tentang kekhawatiran yang aku rasakan selama ini. Aku juga nggak mau nuntut dia untuk bilang cinta ke aku secara gamblang. Karena aku tau, dia bukan tipe pria seperti itu. Aku juga nggak tau sejak kapan Mas Aham berubah menjadi orang yang begitu kaku. Makanya aku jadi semakin sungkan kalau mau mengutarakan perasaan dan uneg-unegku padanya.
"Apa pun yang terjadi nantinya, saya tidak akan pernah meninggalkanmu. Jika itu yang kamu khawatirkan. Jangan menyimpulkan sesuatu secara sepihak jika kamu sendiri belum yakin. Kalau kamu ragu, silakan tanya pada saya secara langsung."
"Memangnya nggak ada seseorang yang Mas suka, sebelum nikah sama aku?" Tanyaku to the point. Nah, malah keceplosan.
Dia diam tak besuara, dengan raut wajah yang sulit untuk aku pahami. Lalu dengan gerakan pelan, mengelus pipiku. Aku terpejam menikmati sensasi sentuhannya. Entahlah, rasanya aku ingin menangis saja. Semua terasa menyesakkan, begitu mengingat kembali takdir yang saat ini aku jalani. Sungguh, aku nggak pernah menduganya seumur hidup. Menikah di usia muda. Dengan pria yang selama ini aku kira adalah kakakku.
Kurasakan Mas Aham menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Jadilah dia memelukku dalam posisi kami yang duduk saling berhadapan. Kami terdiam selama beberapa detik. Sementara aku sedang berusaha agar nggak mengeluarkan setetespun air mata. Sekuat tenaga aku tahan. Aku nggak mau kelihatan lemah di depan Mas Aham.
"Saya mau punya anak." Katanya tiba-tiba, setelah beberapa detik kami terlarut dalam hening.
Sontak saja aku langsung mendorong tubuhnya agak kencang. Untung dia masih punya gerak refleks yang bagus. Jadi, nggak sampai terjungkal, jatuh dari ranjang. Demi apa dia ngomong begitu? Bikin jantungan aja. Please deh, Mas Aham ini nyebelinnya luar biasa.
"Ya Allah, Mas. Pertanyaan Shikha aja belum Mas jawab. Ini malah tiba-tiba ngomong begitu, malah nggak pakai saringan juga. Mas pikir bikin anak itu gampang apa?" Tanyaku agak memekik. Aku makin frustasi kalau begini ceritanya.
"Itu rencana saya ke depannya." Sambungnya lagi. Benar-benar tak menghiraukan pertanyaanku sebelumnya.
"Tapi saat ini Shikha belum siap, Mas. Shikha masih pengen ngejar karir Shikha. Pengen jadi dokter profesional." Jawabku menggebu.
"Ya sudah, menunggu kamu siap saja." Balasnya datar. "Kalau begitu, kita segera konsultasikan ke dokter spesialis kandungan dulu."
"Buat apa konsultasi? Kan punya anaknya nanti saat aku udah siap." Sanggahku dengan perasaan was-was.
"Maksud saya, kita konsultasi soal KB yang tepat untuk kita berdua terapkan atau kita gunakan."
Hah? KB? Emang perlu banget gitu, konsultasi ke dokter untuk menunda punya anak?
"Shikha, jangan bilang kamu tidak mau melayani saya sampai kamu lulus kuliah." Ucapnya tampak frustasi. "Itu lama sekali." Sambungnya lagi.
Dan aku tiba-tiba langsung tersadar akan kelalaianku sejak awal pernikahan sampai saat ini. Saking nyamannya berdekatan dengan Mas Aham, karena terkadang aku masih merasa seperti dimanja oleh kakakku sendiri.
Astaghfirullah hal'adzim! Bodoh banget sih, aku. Kenapa aku nggak mikir sampai ke sana sih? Maksudku, kenapa juga dia nggak pernah bilang langsung? Jadi aku kira, nggak apa-apa kalau dia puasa dulu sampai aku benar-benar siap untuk hamil.
♧♧♧
Dan Mas Aham pun hanya bisa menatap dengan parasaan hampa.
Punya bini kok, nggak ngerti situasi dan kondisi? Padahal udah dikasih kode tiap pagi.Wkwkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Istrinya Tuan Jenius
Humor21+ pokoknya. Shikha mengira, Aham adalah kakak kandungnya. Namun, setelah keduanya kedapatan tidur di dalam satu kamar, Ayah dan Bunda mereka tiba-tiba saja memutuskan bahwa mereka berdua harus menikah. Malam itu, Aham baru saja pulang dari studi S...