7. Gusar

17.9K 1K 34
                                    

"Lebih penting mencintai seseorang yang kamu nikahi dibanding menikahi orang yang kamu cintai."

~dr. Zakir Naik~

♧♧♧

Aku terdiam cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri bertanya pada Mas Aham.

"M....mas ma...maunya ka...pan?" Tanyaku terbata.

"Apanya yang kapan?" Tanya Mas Aham balik.

"Itu...." Jawabku sambil menunduk, sembari tanganku memilin ujung dress yang aku pakai.

"Itu apa?" Tanyanya datar. Sumpah deh, aku malu banget. Masa aku yang nawarin diri sih, ke dia? Nggaaaaaaak akaaaaaan.

"Ya itu...." Ulangku sambil merengek.

"Ya apa, Shikha? Saya tidak mengerti." Balasnya.

Aku menghela nafas gusar, sebelum mendongak dan memandangnya dengan tatapan sebal.

"Koitus, Mas." Jawabku cepat. Kemudian segera menunduk lagi.

Hening, nggak ada lagi terdengar balasan darinya. Entahlah. Aku nggak berani mencari tau. Aku hanya sibuk dengan pikiranku sendiri dan semakin brutal memilin ujung dress yang aku pakai.

"Kalau malam ini, boleh?" Tanyanya tiba-tiba. Dan rasanya jantungku mau copot seketika.

"HAH! Sekarang?" Tanyaku polos.

"Lalu kapan? Saya tidak bisa menunggu lebih lama lagi." Ujarnya cepat. Lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Tampak salah tingkah.

Huaaaaaaa......tolongin dong. Siapa pun. Aku belum siap. Tapi kasian Mas Aham kalau aku menolak. Kata Bunda, dosa besar bagi seorang istri kalau menolak keinginan suami yang sedang berhasrat, kecuali ada alasan yang syar'i. Sedangkan aku saat ini sedang tidak dilanda menstruasi dan juga nggak lagi sakit.

♡♡♡

Beberapa hari berlalu, aku dan Mas Aham pun sepakat untuk mendatangi dokter spesialis kandungan dengan tujuan berkonsultasi tentang jenis kontrasepsi yang cocok untuk kami gunakan. Lebih tepatnya untuk aku gunakan. Sekitar pukul 8 pagi, setelah sarapan kami berangkat menuju rumah sakit milik keluarga. Ada Bunda yang mendampingi, sekalian berangkat kerja juga katanya. Karena jadwal Bunda memang cukup padat seperti hari-hari biasanya.

Sesampainya di rumah sakit, kami langsung menuju poli kandungan.

"Mbak Shikha dan dokter Abraham sudah melakukan itu sebelumnya?" Tanya dokter Femy, dokter kandungan wanita yang usianya hampir sepantaran dengan Bunda. Tapi sepertinya lebih muda dari Bunda.

"Su...sudah, dok." Jawabku dengan wajah yang terasa menghangat. Astaga! Harus banget nih, aku kasih tau soal itu ke dokter Femy? Malu banget, sumpah. Apalagi di ruangan ini juga ada Bunda dan Mas Aham.

"Oh ya? Dokter Abraham ngeluarinnya di dalam atau di luar?" Tanyanya lagi.

Ya Allah! Pertanyaan macam apa itu? Kulirik Mas Aham, dia kayaknya malah salah tingkah gitu. Duh, bisa malu juga ternyata.

"Sejak pertama kali selalu di luar, dok. Karena sebelumnya istri saya sudah mengatakan kalau dia belum siap untuk hamil." Jawab Mas Aham terdengar cukup tenang.

"Oke kalau begitu. Seperti yang saya jelaskan tadi, mengenai jenis alat kontrasepsi. Saya hanya menyarankan. Tapi keputusan di akhir tergantung kesepakatan bersama."

"Bisa diulang lagi nggak, dok. Jenis-jenis kontrasepsi tadi?" Tanyaku rada sungkan.

"Boleh. Alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan itu ada yang hormonal dan ada yang tidak. Hormonal itu bisa dalam bentuk obat minum, ada juga yang dalam bentuk injeksi. Nah, yang tidak hormonal bisa menggunakan IUD, bentuknya bisa bermacam-macam. Ada yang spiral, bisa juga berbentuk seperti huruf T. Dan itu diletakkan secara langsung  di rongga rahim. Fungsinya untuk memblokade jalan masuk sperma menuju sel telur. Kalau saran saya, lebih baik memakai IUD saja agar Mbak Shikha dan dokter Abraham merasa lebih nyaman. Waktu penggunaannya pun cukup lama dan tidak perlu lepas pasang ketika ingin berhubungan intim. Sedangkan yang hormonal, harus rutin digunakan. Misalnya yang obat minum, Mbak Shikha harus rutin meminumnya setiap hari, tidak boleh lupa. Takutnya nanti malah kecolongan. Tiba-tiba saja hamil, padahal di luar dari rencana. Kalau yang injeksi biasanya per 3 bulan. Jika terlambat, tidak sesuai perhitungan pasti dikhawatirkan juga kecolongan. Siapa tahu pada saat itu mbak Shikha dalam masa subur-suburnya. Jadi, mau pakai yang mana?"

Aku memandang ke arah Mas Aham. Dia juga memandang ke arahku.

"Kalau saya boleh berpendapat, lebih baik pilih IUD saja. Kalau yang hormonal, dikhwatirkan akan mempengaruhi produksi hormon alami di dalam tubuh." Ucapnya terdengar tegas. Sepertinya Mas Aham lebih paham daripada aku. Toh, dia juga seorang dokter, meskipun beda spesialis. Tapi setidaknya, ketika masih di jenjang S1 dia sudah mempelajari hal itu.

"Menurut Bunda gimana?" Tanyaku pada Bunda.

"Bunda sih, terserah kalian. Tapi, kalau Bunda boleh kasih pendapat, usulan Aham itu cukup tepat. Karena tidak membuang banyak waktu juga pikiran. Toh nanti tinggal lepas saja kalau kamu sudah siap untuk hamil." Jawab Bunda terdengar tak kalah mantabnya.

"Ya udah kalau gitu. Aku manut aja saran Mas sama Bunda." Putusku akhirnya.

♡♡♡

"Mas kenapa?" Tanyaku, saat melihat Mas Aham tampak gusar, setelah keluar dari ruang poli kandungan. Lebih tepatnya sejak dia menerima telepon dari seseorang entah siapa. 

"Kita ke ruangan saya sebentar. Ada yang ingin saya bicarakan denganmu." Pintanya. Aku mengangguk dan mengikutinya ke ruangannya yang ada di lantai 3 bangunan rumah sakit khusus untuk menangani pasien gangguan jiwa dan anak berkebutuhan khusus.

Sesampainya di sana, Mas Aham langsung menarikku memasuki sebuah bilik yang ada di dalam ruangannya. Dituntunnya aku agar duduk di atas meja kerjanya sedangkan dia duduk di kursi kebesarannya.

"Saya harus pergi ke Inggris, dengan jadwal penerbangan tercepat."

Aku kaget bukan main. Mau ngapain lagi dia ke sana? Apa ada masalah dengan keluarganya yang di sana? Setahuku Mas Aham punya ayah kandung seorang pengusaha sukses di sana. Aku nggak begitu mengenalnya, karena kami hanya satu kali bertemu di acara akad pernikahan kami. Itu pun sebentar sekali, tidak sampai 1 jam. 

"Daddy Joseph tiba-tiba masuk rumah sakit. Keadaan beliau tidak memungkinkan untuk mengurus perusahaan seorang diri. Sedangkan beliau tidak memiliki anak selain saya. Saudara juga tidak ada, karena beliau adalah anak tunggal." Tambahnya lagi. Meski pun terdengar datar dan biasa-biasa saja, tapi aku yakin dia juga sedang khawatir saat ini.

"Saudara sepupu atau keluaga yang lain bagaimana?" Tanyaku tak habis pikir. Nggak mungkin kan, Daddy Joseph hidup sebatang kara setelah kedua orangtuanya meninggal?

"Ada. Tapi mereka hanya memiliki sebagian kecil dari saham perusahaan. Saya baru tau tadi itu, bahwa beliau telah memindahkan persentase saham terbesar perusahaan atas nama saya. Padahal saya tidak tahu menahu soal itu. Dulu pernah dibahas, tapi saya dengan tegas menolak. Karena saya tidak ingin meninggalkan Ayah, Bunda, kamu dan juga adik-adik."

"Jadi, apa rencana Mas saat sudah di sana?"

"Belum saya pikirkan. Karena saya belum tau betul bagaimana kondisi Daddy Joseph ketika berada di sana nanti."

Aku terdiam, bingung juga hendak merespon seperti apa lagi. Sementara itu, Mas Aham memandangiku dengan tatapan yang menyendu.

"Saya boleh pergi?"

Nggak boleh!

Ingin sekali aku mengatakan rasa keberatanku. Tapi aku nggak berani. Walau bagaimana pun Mas Aham berhak menemui Daddy Joseph. Meski pun secara hukum negara mereka nggak ada hubungan keluarga sama sekali. Tapi konyolnya, sebagain besar saham sudah dialihkan ke Mas Aham. Memangnya boleh seperti itu? Sepertinya sih, sah-sah aja. Selama pemilik sebelumnya dengan suka rela memberikan dengan percuma.

♡♡♡




Istrinya Tuan JeniusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang