"Wah itu bukannya Zeline yah? sayang banget yah di bercerai dengan Abidzar, padahal kan mereka kelihatannya cocok banget" bisik beberapa orang ketika aku dan Sarah lewat.
"Udah Lin, gak usah di dengerin yah?" Sarah merangkulku. Memberiku kekuatan di saat-saat seperti ini.
Semenjak aku mengumumkan perceraian kami di sosial media, orang-orang selalu saja berbisik-bisik setiap kali melihatku, bahkan dari pihak media juga ikut-ikutan membuntuti kemanapun aku pergi. Sebenarnya aku merasa risih, namun inilah resikonya kalau kita sudah menjadi orang yang di kenal halayak banyak.
"Enggak apa-apa kok" aku mencoba menguatkan diri, memasang senyum semanis mungkin di hadapan semua orang.
"Tidak apa-apa, sebentar lagi semuanya akan usai. Di masa depan, orang-orang akan tau siapa sebenarnya yang salah dalam perihal ini" aku mengangguk setuju akan ucapan Sarah.
Tidak apa-apa kalau sampai kapanpun orang-orang tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi di kehidupan rumah tangga kami, yang terpenting aku harus tetap hidup untuk anakku. Hanya anakku yang akan menjadi alasan kenapa aku tetap kuat dalam menjalani peliknya hidupku saat ini.
"Mamah......." senyumku mengembang ketika memasuki rumah, Alwar dengan berlari menyambutku dengan senyuman lebar.
"Hey... anak mama, apa kabar hari ini?" aku menggendongnya lalu menciumi pipinya dengan gemas. "Maafin mamah yah baru bisa pulang..." ucapku penuh sesal. Pasalnya sedari pagi aku sudah harus keluar dari rumah untuk mengurus restoran ku dan juga menghadiri persidangan kami tadi siang.
"Ayah mana mah?" seperti biasa, Alwar akan celingukan kalau tidak melihat ayahnya. Dia selalu begitu, sedikit-sedikit mencari ayahnya, padahal yang lebih banyak menghabiskan waktu dengannya adalah aku.
"Ayah lagi di rumah Oma. Besok bakalan datang kesini jenguk Alwar" aku menggendongnya hingga lantai dua rumah kami.
Aku memang masih tinggal di rumah kami dan Abidzar memilih tinggal di rumah ibunya. Biasanya dia setiap hari datang ke rumah ini untuk menjenguk Alwar, biar bagaimanapun tidak bisa dipungkiri dia sangat menyayangi Alwar, dan aku tahu itu. Namun rasa sayangnya terkadang ia lupakan demi kerjaan dan juga teman-temannya. Kalau ia sudah berkumpul dengan temannya, pulang ke rumah pun terkadang ia lupa. Kekanak-kanakan.
Jujur, usia kami memang masih tergolong sangat muda untuk menjadi orang tua, namun harusnya di bersikap dewasa karena sudah menjadi suami dan juga ayah bagi anak kami. Aku juga masih muda seperti dirinya, jiwa ingin bepergian kesana kemari bersama temanku juga masih menggebu, namun aku masih memprioritaskan Alwar. Apa-apa aku harus tau keadaan Alwar dulu baru pergi kemana.
"Mamah, Alwar mau pipis..." Alwar bergerak gelisah ketika memberitahu aku.
"Buka celananya cepat..." dengan terburu-buru aku membuka celananya lalu menggiring ia ke kamar mandi. Setelahnya, aku membawa ia ke kamar untuk menidurkannya.
"Good night anak mamah" kucium pelan keningnya lalu keluar menuju ruang tamu. Bertemu pengasuh Alwar.
"Abidzar gak ada datang kemari tadi mbak?"
"Enggak ada bu, hari ini pak Abidzar gak datang. Tapi sebelumnya beliau udah me ghubungi saya kalau hari ini belum bisa jenguk Alwar" aku menganggukkan kepala.
Aku dan Abidzar memang sudah berkomitmen untuk tetap menjaga dan merawat Alwar bersama-sama, tidak peduli kalau kami ini sudah bercerai. Kami juga sudah memutuskan bahwa hak asuh jatuh kepadaku, karena aku tidak akan pernah bisa yakin dia akan menjaga anakku dengan baik. Sudah aku lihat bagaimana kelakuannya semenjak kami menikah, jadi tidak ada alasan kalau hak asuh jatuh di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEKAS
ChickLit"Kamu adalah buku yang sudah selesai aku baca dan aku tidak tertarik untuk menyimpannya kembali. Dulu aku sangat bersemangat ketika melihat sampulmu, namun ketika aku mulai membacamu dari halaman ke halaman lainnya, aku seperti tidak menemukan hal m...