Chapter 44

10.4K 819 6
                                    

Sudah menunggu cerita ini up?

Sudah?

Ah terima kasih 😊

Kalau begitu, selamat membaca

__________________________________

"Ze, tau kah kamu? Satu-satunya orang yang memenuhi syarat untuk menjadi istriku adalah kamu seorang. Karena, salah satu syarat pernikahan langgeng adalah; jatuh cinta berkali-kali pada pasangannya. Dan itulah yang aku alami selama ini setiap kali melihat dan berhadapan denganmu"

Kata-kata Neandro mengalun begitu indah di telingaku. Menggoyahkan rasa takut dan ragu padanya sekaligus. Matanya tidak pernah lepas saat mengatakan kata-kata indah itu. Telingaku bahkan tidak terusik dengan suara-suara sumbang dari para tamu undangan, yang hanya di hadiri oleh kedua keluarga kami. Tanpa ada orang luar ataupun media.

"Zeline Kaluna, aku berjanji akan menyayangi kamu dan juga Alwar dengan sepenuh hati. Tidak akan membuatmu kesusahan, menemanimu disaat suka maupun duka, mendukung di setiap langkah yang akan kau ambil kedepannya"

Mataku mulai berkaca-kaca saat ini. Jantungku bertalu-talu, rasa haru menyelimuti.

" Karena itu, maukah kau menerima pinangan dariku, menjadi istri sekaligus wanita satu-satunya yang menjadi pendamping hidupku kelak?"

"Ayo..., Monggo nak Zeline dijawab pinangan dari mas Neandro nya" goda MC acara ini, yang tidak lain adalah sepupuku sendiri.

"Iya, aku bersedia"

"Alhamdulillah" seru semua orang.

Nean bahkan sampai tertawa sambil menitikkan air mata.

Ya, hari ini aku dan Neandro mengadakan lamaran di kediaman papa. Awalnya, acara akan dilaksanakan di rumahku, namun karena pertimbangan lainnya, akhirnya acara diadakan di rumah papa.

Acara juga bukan acara besar, hanya dihadiri oleh pihak keluarga saja.

Setelah pemasangan cincin, Nean tidak henti-hentinya tersenyum, bahkan aku sampai memukul lengannya agar sesekali mengatupkan mulut.

"Selamat yah nak" nenek menghampiriku dengan mata berkaca-kaca. "Setelah begitu banyak air mata, akhirnya kalian sampai pada tahap ini" nenek membelai wajahku. " Nenek doakan, semoga kalian bahagia"

"Makasih nek" jawabku dengan tak kalah terharu.

Apa yang dikatakan nenek adalah kebenaran. Untuk sampai di tahap ini, bukanlah hal yang mudah. Aku harus menghadapi kerasnya papa, dan juga harus mengetahui kebenaran yang selama ini juga di sembunyikan.

"Besok, kita pergi berziarah ke makam ibu kamu" ucap nenek kembali. Aku mengangguk mengiyakan. Aku juga belum pernah datang ke makam ibu, belum tahu juga letaknya dimana.

🥀🌹

Aku bersimpuh di hadapan makam yang terlihat sangat rapi. Jelas sekali kalau makam ini selalu diperhatikan, bahkan bunga mawar putih masih terlihat segar diatasnya.

Tiba-tiba saja hatiku terasa sesak saat ini. Mataku berair, suaraku tercekat, walau hanya untuk mengeluarkan isakan.

Diana Aluna Hamdani binti Fiqih Hamdani

Sebuah nama yang sepertinya pernah aku dengar dari mulut Uti dahulu. Namun, ketika aku bertanya soal nama itu, Uti selalu mengalihkan pembicaraan. Bahkan setelahnya, tidak pernah ada lagi yang menyebutkan nama itu di hadapanku.

"Ibu" satu kata lolos dari mulutku dengan sangat pelan. Elusan di lenganku berubah menjadi cengkraman.

Nenek ikut terisak melihat ketidakberdayaan ku saat ini. Ia berusaha menegarkan, padahal ia juga sama bersedihnya denganku.

BEKASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang