24: Keraguan dan Was-was

8 2 1
                                    

Part pendek.

###

Terlihat beberapa orang lelaki berseragam tengah menongkrong di sebuah kedai yang letaknya tak jauh dari sekolah mereka.

Mereka baru saja pulang dari sekolah dan biasanya memang menyempatkan untuk menongkrong.

Mereka adalah Riski dan teman-temannya. Mereka sedang membahas masalah band.

Sebelumnya Riski sudah bertemu dengan Amanda terlebih dahulu, menawarkan untuk mengantar Amanda pulang. Tetapi Amanda menolak dan mengatakan kalau lebih baik Riski langsung berkumpul bersama dengan teman bandnya.

Amanda juga berkata kalau ia akan di jemput oleh 'Om-nya'. Lagi.

Riski jadi merasa aneh dengan Amanda.

"Heh, Ki. Lo udah tau belum kalau tadi Amanda itu ribut sama Dinda?" Andre teman bandnya.

"Kenapa lagi?"

"Iya. Tadi mereka saling sindir gitu di kantin. Sampai satu kantin jadi heboh." Hadi menambahkan.

Riski mendecak. Pria itu jadi sedikit merasa bersalah jika mengingat bagaimana Amanda dan Dinda sampai bermusuhan hingga sekarang.

"Thanks infonya." Riski mengambil tas dan gitarnya, beranjak dari kursi.

"Mau kemana? Kan belum selesai."

"Gue pulang duluan. Mau mampir ke rumah Amanda."

Hadi membelalak. "Lo udah tau rumahnya Amanda ada dimana?"

Riski mengernyit. Benar juga apa yang Hardi katakan. Riski kan sama sekali tidak tau dimana rumah Amanda.

Tapi Riski tidak hendak menjawab. Pria itu langsung menuju motornya.

***

"Gue mau tanya satu hal."

"Apa?"

"Lo suka sama Rehan nggak?"

Ely mengangkat kedua alisnya. Kegiatannya menulis jadi terhenti.

"Kenapa kamu tanya begitu?"

Lisa tampak diam beberapa saat. "Gue cuma pengen kasih tau lo, kalau gue suka sama Rehan."

Ely sedikit kaget. Gadis itu terkekeh kecil setelahnya. Ia tidak berpikir kalau Lisa yang tomboy akan menyukai pria secepat ini.

"Kamu suka sama sejak kapan? Berarti harusnya waktu itu aku bilang sama yang lain di loker kalau suka sama Rehan betul, dong?"

Lisa mengalihkan wajahnya. Gadis itu tersenyum malu dan bahkan wajahnya sudah bersemu.

"Apaan sih! Bukannya jadi malah nanya balik."

Ely tersenyum kecil. "Aku nggak suka sama Rehan. Aku cuma bingung aja ketika temanku yang tomboy bisa suka sama lawan jenis secepat ini."

"Gue cuma mau kasih tau lo aja. Soalnya gue lihat lo sama Rehan dekat banget. Apalagi sejak kalian udah jadi ketua dan wakil di OSIS."

"Nggak, kok. Tenang aja."

"Nggak apa. Gue cuma bercanda."

"Bercanda atau beneran?"

"Bercanda."

"Aku dengarnya beneran."

Lisa mendesis. Gadis itu pun melanjutkan menulis di buku tugasnya.

Mereka sedang mengerjakan tugas bersama di rumah Lisa. Dan kebetulan kedua orang tuanya belum pulang kerja.

"Oh, ya. Lo di sini tinggal sama Om lo, kan?"

"Hm?"

"Lo tinggal sama siapa di sini?"

Ely tampak kikuk dengan pertanyaan Lisa. Gadis itu bingung ingin menjawab bagaimana. Seperti biasa.

Ely mencoba mengatur napasnya sendiri. Detak jantungnya terasa lebih cepat.

Terkadang Ely berpikir untuk mengatakan siapa dirinya yang sekarang. Tetapi terkadang Ely juga takut kalau Lisa tidak akan mau berteman lagi dengannya kalau mengetahui tentang Ely.

Tetapi sekarang Ely jadi tau, kalau Lisa selalu mempedulikannya.

Jadi semua yang gadis itu pikirkan memang salah.

Ely merasa ragu untuk memberitahu. Keraguannya membuat gadis itu juga enggan untuk memberitahu Lisa.

Ely juga ragu kalau Derran mau menerima jika suatu saat hubungan mereka terbongkar. Ely juga teringat janjinya pada Derran untuk tidak merepotkannya. Ely masih ragu dengan perasaan Derran.

Apalagi setelah kejadian kemarin, saat Ely memberitahukan perasaannya pada Derran.

Tau tidak yang Derran lakukan? Pria itu malah diam saja dan bergegas meninggalkan Ely di rumah. Seolah tidak merasa senang.

Tapi Ely juga tidak yakin kalau Derran itu merasa tidak senang. Buktinya saja pria itu tidak marah.

Entahlah. Ely masih ragu.

"Heh."

"Ha?"

Lisa mendengus. "Kebiasaan banget."

***

Baru rasanya gadis itu ingin memejamkan mata untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Tetapi bunyi dari teleponnya sepertinya tidak setuju dengan tindakan itu.

Berbunyi dan Amanda segera mengambil ponselnya. Gadis itu melihat dengan serius layar ponsel miliknya.

Telepon dari Riski.

Mengapa menelepon di saat-saat seperti ini?

"Hallo, Ki."

"Sayang. Kamu bisa datang, nggak? Aku ada di dekat biasanya aku antar kamu pulang."

"Lho. Bukannya kamu lagi kumpul sama teman band kamu."

"Iya. Tapi udah selesai."

Amanda gigit jari. Gadis itu merasa was-was. Mengapa dadakan sekali?

Amanda kan sudah tidak tinggal di rumahnya yang lama. Ia sudah pindah bersama Erham ke apartemen.

Lalu bagaimana sekarang?

"Kalau kamu nggak bisa, biar aku datangin kamu aja gimana?"

"Datangin?"

"Iya."

"Jangan."

"Jangan?"

"Maksudnya ... nanti aku aja yang keluar. Kamu tunggu aja di situ sampai aku datang."

"Ya udah. Aku tunggu."

Amanda segera mengambil tasnya dan keluar dari kamar.

Amanda berlari menuju rak sepatu. Tidak mempedulikan Erham yang sedang memasak di dapur untuk makan siang.

Pria itu memanggil nama Amanda, tetapi itu sudha terlambat Amanda sudah pergi dengan tas dan kunci mobil.

Parahnya, kalian tau siapa pemilik kunci itu.

###

Part selanjutnya akan panjang, kok.

Salam.

Loves Lives (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang