Prolog -- Kita

320 23 20
                                    

Gelap diusir fajar, diikuti oleh riuhnya kicau burung yang terdengar dari pepohonan sekitar rumah. Dinginnya udara menggoda batin agar segera menarik selimut dan melanjutkan mimpi yang tertunda. Jika udara dingin tidak dilawan dengan wajah perkasa, mungkin rata-rata manusia masih terlelap tidur saat ini.

Pip, pip.

Ponsel berbunyi dua kali. Tangan berkulit kuning langsat milik seorang cowok pun meraih benda pipih itu. Ada dua pesan masuk dari temannya, mengingatkan agar pagi ini jangan datang terlambat ke sekolah, piket kelas pagi masih menunggunya.

"Dir, Dirga!"

Suara dari balik pintu kamarnya membuat Dirga menoleh. Pemuda 17 tahun itu mendengus berat sambil memasukkan ponselnya ke saku jaket. Sempat meraih ransel hitam yang tergeletak di atas meja belajar, ia kemudian menghampiri pintu dengan alis berkedut kesal.

"Dirga!"

"Gue udah bangun, Bang. Ngapain, sih, teriak-teriak? Masih pagi gini, lagi."

Sosok lelaki yang sejak tadi berseru sambil mengetuk pintu keras-keras itu pun lekas tersenyum lebar. "Sorry, deh. Kirain lo belum bangun."

Dirga hanya berkedip curiga, lantaran sosok Abangnya itu memang sering menjailinya dengan candaan-candaan menyebalkan. Sebelah tangannya lekas menutup pintu kamar. "Udah sarapan, Bang?"

"Belum. Ternyata kulkas nggak banyak isinya, jadi nggak tau mau masak apa. Ibu sama Ayah juga masih di luar kota."

"Ya udah, gue langsung berangkat aja." Dirga menuruni anak tangga lebih dulu.

"Gue juga mau sarapan di depan kampus aja, deh."

Sepersekian detik kemudian, rumah dua lantai itu pun kembali terasa hening karena kedua penghuninya mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Andra berjalan lebih dulu menuju teras sambil menteng sepatu, sedangkan Dirga memasuki dapur niat mengambil sebotol air. Sekian menit berlalu hingga keduanya kembali bertemu di halaman. Masih sibuk dengan urusan masing-masing, mendorong motor sendiri-sendiri keluar dari garasi, kemudian memeriksa ransel memastikan tak ada barang penting yang tertinggal.

"Berangkat sendirian, Dek?"

Mata hitam Dirga bergulir, melirik dua manusia yang barusan memulai interaksi di tengah dinginnya pagi ini. Hanya sejenak melirik sebelum ia meraih helm hendak lekas berangkat sekolah. Ia tahu Kakak laki-lakinya itu memang ramah dan akrab dengan beberapa tetangga mereka. Terutama, dengan gadis berambut lurus yang kini berdiri di dekat trotoar.

"Iya, Kak. Kak Andra sendiri mau ke kampus?"

Andra mengangguk. "Iya, ada kelas pagi."

"Jadi anak kedokteran kayaknya susah, ya, Kak?"

Tawa Andra mengalun ringan. "Susah, tapi seru. Oh iya, kebetulan kamu mau berangkat sekolah, itu si Dirga juga mau berangkat." Sosoknya lantas menoleh ke belakang menargetkan Adiknya. "Dirga! Luna mau berangkat juga, kalian barengan aja, ya!"

Dirga berkaca di spion kanan motornya niat memperbaiki posisi dasi. "Hah?"

"Berangkatnya bareng Luna!"

Sontak dalam waktu dua detik, dahi Dirga mengernyit tak setuju. "Nggak, deh, Bang. Gue buru-buru."

Andra tersenyum masam lantaran sudah menebak respons negatif Adiknya. "Yaelah, apa salahnya, sih? Lo sama Luna satu sekolah, woi," balasnya kemudian menoleh pada tetangga perempuan mereka. "Kamu berangkatnya bareng Dirga, ya?"

Luna tersenyum kaku sambil menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, Kak. Luna berangkat sendirian aja, udah pesen ojek langganan juga, kok."

Andra mendengus berat tanda lelah melihat tingkah dua anak anak SMA itu. Mereka yang sering terlihat mengelakkan pertemuan padahal sekolah di tempat yang sama, rumah bersebelahan, usianya juga nyaris sama.

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang