26¦ Tengkar

60 9 7
                                    

Hari Minggu ini terasa menyebalkan bagi Dirga. Pagi tadi, ia harus mengunjungi Jalan Jenderal Sudirman atas perintah Putra yang disampaikan melalui sambungan telepon. Ia harus pergi ke sana, guna menemui manajer kafe milik Ayahnya yang belakangan ini tak memberikan laporan keuangan kafe. Harus Dirga yang pergi, karena Putra ingin Dirga belajar menjadi orang sibuk seperti dirinya.

Begitu malam tiba dan salat Isya telah selesai dilaksanakan di masjid, Dirga dan Andra berjalan bersebelahan menuju rumah. Andra sibuk merenggangkan lengan kanannya karena tadi terasa kesemutan, sedangkan Dirga berjalan sambil sesekali menendang kerikil.

"Enak juga, ya, oseng tempe ala-ala kita berdua." Andra terkekeh mengingat ia dan Dirga yang tadi mandiri memasak makan malam sendiri.

Dirga memilih untuk tak membalas ucapan Andra. Ia beralih menatap bulan yang terlukis cantik di kejauhan. Benaknya memutar memori kemarin, ketika Luna meninggalkannya dengan rona wajah muram. Dirga akui ia salah karena tak bergerak cepat untuk menjelaskan kepada Luna, bahwa Dirga diam di sepanjang perjalanan pulang mereka lantaran ia mati-matian memendam perasaan gelisahnya. Dirga hanya gelisah, ketika tahu bahwa Orion sepertinya ikut menyukai Luna.

"Lo ada uang pegangan, Bang?" tanya Dirga.

Andra menoleh. "Ada, sisa uang jajan minggu kemarin. Kenapa emang?"

Dirga menggigit bibir bawahnya ketika rasa ragu mulai tampak di sudut hatinya. Cowok itu memalingkan wajahnya ke arah jalanan.

"Ada masalah?" tanya Andra.

Dirga menghela napasnya dengan berat, kemudian kembali mencari sosok bulan di langit. "Gue sama Luna lagi nggak enakan. Bukan berantem, cuma ada selisih opini gitu," lirih Dirga.

"Lho? Sejak kapan?" kaget Andra.

"Sabtu sore, setelah pulang sekolah." Dirga menghela napasnya. "Hari ini aja gue nggak lihat dia keluar rumah. Gue khawatir dia kenapa-napa ...."

Andra mengamati raut wajah sendu Adiknya, kemudian ia menatap jalanan. "Terus, sekarang lo mau gimana?"

Dirga tersenyum muram. "Pengin beliin sesuatu buat dia. Siapa tau gue sama dia bisa baikan, 'kan?"

Andra terkekeh pelan. "Lo inget kalau Luna bukan tipe cewek yang suka dikasih macem-macem? Dia lebih suka kalau lo ada buat nemenin dia, Dir," ucapnya.

"Gue ingat, tapi ... gue beneran pengin baikan sama dia." Dirga membuang napasnya. "Gue pengin ngasih sesuatu sambil minta maaf."

Andra tersenyum. Ia tahu bahwa Adiknya itu kini benar-benar menyukai Luna. Sendu di wajah Dirga, nada bicaranya yang penuh harap, Andra paham perasaan Dirga.

Keheningan terjadi cukup lama, hingga keduanya tiba di rumah dan Dirga sempat berhenti berjalan hanya untuk melirik kediaman Luna.

"Jadi beliin sesuatu buat Luna? Kalau jadi, pake uang gue dulu juga nggak apa-apa." Andra memegang gerbang sambil menatap Dirga.

Dirga beralih menatap Andra, kemudian menggeleng. "Gue baru ingat kalau ternyata besok gue ada tanding. Kalau gue menang, bakal dapat hadiah uang. Uangnya lumayan, bisa gue beliin hadiah buat Luna," ucap Dirga.

Andra terdiam sejenak, kemudian senyumannya terbentuk. "Nggak ada acara judi, 'kan? Lo hati-hati, awas kalau Bapak tau."

Dirga mengangguk. "Nggak judi, kok. Hadiahnya disediain sama yang punya acara."

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang