Taman Kencana menjadi tempat pertama yang disambangi oleh Dirga dan Luna. Dirga yang membawa Luna ke tempat itu terlihat sudah sangat hafal pada letak tempat duduk favoritnya. Gemerlap bintang di langit terlihat jelas dari tempat Luna melangkah, membuat garis senyum gadis itu mengembang kecil.
"Ingat, dulu kita pernah ke sini berdua? Sore, setelah aku nemenin kamu beli novel." Kedua kaki Dirga melangkah pelan untuk mengimbangi langkah Luna. Sebelah tangannya disimpan di dalam saku celana, sedangkan tangan lainnya bergerak memainkan kunci motornya di udara.
Luna mengeratkan pegangannya pada sling bag yang ia bawa. "Ingat," lirihnya.
Dirga tersenyum kecil. "Waktu itu, adalah hari pertama aku ngaku sama diri sendiri, kalau aku mulai sadar tentang aku yang suka sama kamu, Lun."
Luna menoleh. Iris jernihnya menilik raut Dirga. Ada rona keterkejutan di wajah gadis itu.
Dirga memejamkan matanya sejenak karena embusan angin. Cowok berkemeja hitam polos itu benar-benar menyukai angin yang mengacak rambutnya.
"Sebenarnya, udah lama aku suka kamu, cuma nggak pernah ngaku gitu." Dirga membuka kedua matanya. Alisnya yang terlukis rapi mulai membentuk rona sendu. "Paling, kalau kita nggak sengaja ketemu, aku nggak mau ngelihat kamu lama-lama, rasanya mau buruan pergi dari hadapan kamu. Tapi, kalau lagi nggak pernah ketemu langsung, aku malah sering nungguin kamu di balkon. Aneh, sih. Habisnya kalau ketemu, aku nggak mampu ngajak bicara, tapi kalau nggak ketemu, aku nyariin. Kurang lebihnya begitu isi perasaan aku waktu SMP sampai SMA."
Luna menyimpan tangannya di balik pinggang. Ia menatap kedua kakinya yang beralaskan sepatu putih, melangkah seirama dengan kaki panjang Dirga. Benaknya terayun jauh ke masa putih abu-abu dulu.
"Waktu udah sadar sama perasaan aku, apa yang aku pengin ... ya, cuma ketemuan. Senang banget rasanya waktu kita pulang-pergi sekolah barengan, juga waktu belajar bareng di meja teras kamu. Cuma, jelas waktu itu aku nggak akan ngakuin perasaan itu langsung di depan kamu, Lun, itu karena aku yang belum siap, dan merasa kalau diri ini masih kekanak-kanakan. Aku terus bertahan buat nyembunyiin itu sendirian, walau mungkin dari gestur aku aja kamu udah tau, kalau sebenarnya aku sering gugup di dekat kamu. Sampai akhirnya, masalah dengan Orion sukses bikin aku khawatir, dan aku terpaksa jujur soal aku yang suka sama kamu."
Luna menahan rambutnya yang diayunkan oleh angin. Gadis itu mengambil jarak ke kiri satu langkah karena tadi lengannya dan Dirga bergesekan—berjalan terlalu dekat dengan cowok itu. Iris jernihnya menatap Dirga diam-diam. Semua penjelasan itu menuntun Luna untuk tahu, bahwa Dirga mulai mencoba untuk jujur.
Lampu-lampu taman membuat taman semakin elok dipandang mata. Karena ini malam Senin, jadi taman tak seramai malam Minggu kemarin. Karena inilah Dirga membawa Luna hari ini, agar ia punya ruang bebas untuk bercerita dengan gadis itu.
"Semasa kuliah, berkali-kali aku mau nelepon kamu waktu malam datang, terutama di saat Bandung lagi kehujanan dan aku nggak bisa ngelihat langit." Dirga tersenyum lelah. "Tapi, ujung-ujungnya aku nggak jadi nelepon."
"Kenapa?" lirih Luna.
Dirga menoleh pada Luna seraya menghapus senyum lemahnya. "Ya ... karena aku belum berani, mungkin?"
Kedua alis Luna membentuk sendu.
"Akhirnya aku buka koleksi foto, lihat foto-foto kamu waktu kecil yang suka diambilin sama Bang Andra." Tangan Dirga yang masuk ke saku celana akhirnya keluar bersama ponselnya. Jemarinya asyik dengan benda canggih itu, sebelum menunjukkan sesuatu kepada Luna.
Luna merapat pada Dirga meski ia ragu-ragu dan gugup. Ia menatap foto yang Dirga tunjukkan di smartphone cowok itu. Sesaat keadaan hening meski mereka masih terus melangkah, hingga akhirnya senyum Luna terbit. Itu foto ketika mereka kecil, asyik bermain di antara kebun kecil berisi cabai yang ada di belakang kediaman Dirga. Luna masih berusia tiga belas tahun, pun Dirga. Di foto itu Luna tersenyum ceria sembari mengangkat keranjang kecil berisi cabai merah. Dirga di belakang Luna bukannya menatap kamera, tapi malah melirik Luna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Universum
Teen FictionDALAM REVISI, BEBERAPA BAB MUNGKIN BELUM DIPUBLIKASIKAN KEMBALI [Universum] Mereka tumbuh berdampingan. Tahu perasaan masing-masing hanya dengan satu tatapan. Berjalan bersebelahan, saling diam menatap langit malam. Luna ingin menjadi gadis yang ha...