38¦ Masa Putih Abu-Abu

40 10 3
                                    

"Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan, ya."

Dirga mendorong motornya hingga melewati gerbang. Senin pagi pada tanggal lima belas April, sudah lewat tiga minggu lamanya Dirga pulang-pergi sekolah sendirian lagi. Cowok itu menutup gerbang sambil menarik napas berat. Seragam sekolah sudah dikenakan dengan lengkap, pun dasi yang sedikit melambai karena angin kencang menyapa. Dari antara besi-besi gerbang, Dirga dapat melihat Andra yang sibuk memeriksa isi ranselnya di teras.

"Upacara," lirih Dirga mengingat jadwal wajib setiap Senin. Cowok bermata hitam itu berbalik arah menuju motornya. Dirga tak punya rencana lain kecuali berangkat sekolah dengan tenang. Namun ketika ia lihat gerbang kediaman Luna terbuka, mendadak dahinya mengerut dalam.

"Kok, kebuka?" Dirga melangkah lebar-lebar menuju kediaman Luna. Ketika cowok itu tiba di sana, sosok Winata dan Kirana terlihat duduk di teras dengan dua kotak bubur ayam, mungkin barusan selesai sarapan. Dirga terpaku di atas trotoar, menatap lurus pada Winata dan Kirana. Hingga ketika Kirana menyadari kehadiran Dirga, barulah cowok itu terkesiap dan lekas pergi dari sana.

Dirga mengepalkan tangan kanannya ketika napasnya terasa berat. Bayang-bayang kecelakaan membuat cowok itu kembali merasa bersalah.

"Dirga?!"

Langkah cowok berkulit kuning langsat itu kontan terhenti ketika suara Winata terdengar. Ketika Dirga menoleh, benar adanya bahwa Winata menyusul dirinya. Dirga mendecak kesal karena dirinya terjebak di sini. Mau menghindar karena canggung, tapi langkahnya terasa seolah ditahan oleh bumi.

"Mau berangkat?" tanya Winata. Ia berdiri di hadapan Dirga dengan wajah tak berekspresi.

Dirga diam sebelum mengangguk lemah. "Iya, Om ...."

Winata balas mengangguk sebanyak beberapa kali. Lelaki itu mengarahkan netranya untuk meneliti penampilan Dirga. Rapi, nyatanya Dirga tetap rapi meski ia akan berangkat sendirian. Ketika menatap wajah pemuda itu, Winata pun menangkap siluet ragu di kedua bola mata Dirga.

"Rapi, ya, kamu, saya suka." Winata diam sejenak. "Oh iya, kamu nggak usah nyari Luna, karena Luna nggak ikut ke Bogor kali ini. Dia udah nyaman di Yogyakarta bareng Neneknya. Ini saya dan Kirana kembali ke Bogor cuma untuk mengurus rumah dan pekerjaan kami masing-masing."

Dirga meneguk air liurnya getir. Sorot matanya meredup. "I-iya, Om. Maaf tadi Dirga iseng datang ke rumah Om, Dirga kira ... ada Luna."

"Dia udah sekolah lagi di sana, walau masih harus bawa tongkat ke mana-mana. Kamu nggak perlu mikirin keadaan anak saya lagi, oke?" Winata menepuk bahu Dirga seperti biasa. Ia perhatian siluet kecewa yang tampak di wajah pemuda itu. "Pikiran saja diri kamu. Sebentar lagi kamu naik kelas, lalu kuliah dan kerja. Itu nggak lama lagi."

Dirga mengangguk berat.

"Jangan sampai di kelas tiga SMA nanti kamu masih belum tau mau kuliah di jurusan apa. Jangan terlalu banyak main. Main boleh asal ingat waktu," ucap Winata. "Paham, ya? Jadi jangan terlalu mikirin Luna lagi."

Angin berembus lembut ketika Dirga mengangguk. "Iya, Om ...."

Meski berat, tapi Dirga tahu bahwa semua hal yang Winata ucapkan realitasnya adalah hal positif.

Winata mengangguk. Ia memerhatikan garis wajah Dirga selama beberapa saat. "Masih suka dengan anak saya?"

Pertanyaan tiba-tiba itu berhasil membuat Dirga tertegun. Lama cowok itu terdiam dengan lidah lemah di dalam mulut. Apa ia harus jujur?

Winata menaikkan sebelah alisnya. Tanpa harus dijawab pun, sepertinya Winata sudah menemukan jawaban Dirga. Lelaki itu terkekeh pelan sambil menepuk bahu Dirga untuk yang terakhir kalinya di pagi ini. "Saya tau kamu masih suka dengan putri saya. Walaupun kamu nggak pernah bertukar kabar dengan Luna lewat sosial media."

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang