Epilog

142 14 14
                                    

Dian mengusap kepala Dirga sambil tersenyum kecil. Wanita yang kulit wajahnya tak lagi semulus dulu itu terlihat menahan tawa ketika melihat gestur gugup Dirga. "Kenapa? Mikirin Luna?"

Dirga menarik diri dari Dian. Ia membalik posisi duduk hingga bisa berhadapan dengan sang Ibu. Celana selutut dan kaus yang ia kenakan menandakan bahwa ia sedang santai, tapi, mendadak rasanya tak bisa santai lagi karena tertangkap basah sedang memikirkan si Tetangga. Raut wajahnya sontak melemah karena tak lagi bisa menyembunyikan sesuatu.

Dian menatap Dirga. "Kamu udah jadi sedewasa ini, rasanya ... terlalu cepat bagi Ibu. Sekarang mungkin Bapak kamu lagi sibuk di kamar, melamuni waktu. Beberapa bulan belakangan ini, Ibu rasa persiapan kamu sama Luna udah bener-bener matang."

Keheningan mengisi kamar Dirga. Tirai jendela melambai kecil karena diterpa angin, kemudian suara pintu yang dibuka terdengar pelan.

Klek.

Sosok Affandra Diratama muncul dari balik pintu sambil tersenyum kecil. Cowok kelahiran 7 April itu baru selesai mengurus keluarga kecilnya. Harum sabun bayi masih terasa lekat di tubuh Andra ketika ia bergabung di antara Dirga dan Dian.

Dirga tersenyum sendiri menatap Abangnya. Sejak tiga bulan yang lalu, Andra dan Nabila sudah punya anggota keluarga baru. Anak mereka perempuan, membuat Dian antusias sekali menyambut si Cucu Pertama.

Dian menatap Dirga dan Andra bergantian, lantas menghela napas lega. "Ibu senang banget, kalau ngelihat kalian berdampingan kayak gini. Rasanya kayak terbang ke masa lalu, sewaktu kalian masih sekolah." Dian mengangkat tangannya tinggi untuk mengusap kepala anak sulungnya. Perawakan Andra dan Dirga membuat Dian tahu bahwa kedua anaknya tumbuh dengan baik.

Dirga bangkit dari duduknya untuk membawa tubuh Dian menghadap dirinya. "Bu?" lirih Dirga. Kedua tangannya menahan bahu lemah Dian agar terus menghadap dirinya. Sejenak Dirga tersenyum ketika jelas ia dapati ada air mata di sudut mata sang Ibu.

Dian hanya khawatir, jika suatu saat nanti kedua anak lelakinya memutuskan untuk tinggal terpisah dari dirinya dan Putra. Dian akan kesepian jika itu terjadi.

Dirga memperlebar senyumnya, lantas menarik Dian ke dalam peluknya. Cowok berambut lurus-hitam itu mengusap punggung Ibunya yang bergetar karena tangis. "Ibu jangan khawatir. Dirga nggak akan ke mana-mana. Bang Andra juga stay tinggal di sini, kok."

Andra tersenyum kecil, lantas ikut memeluk Adik dan Ibunya dalam satu pelukan. "Andra ikut pelukan juga, ya, biar seru."

Dian tertawa pelan karena Andra. Anak sulungnya itu selalu menjadi penguar canda-berbeda dengan Dirga yang cenderung serius bahkan kaku.

"Ibu itu ... tetap nomor satu buat Bang Andra sama Dirga. Luna sama Kak Nabila itu belakangan, nomor dua, Bu." Dirga memejamkan matanya.

Andra mengangguk. "Bu, first love semua anak laki-laki memang seharusnya jatuh buat ibunya masing-masing. Ibu nggak perlu khawatir, karena kami nggak akan ninggalin Ibu sama Bapak."

Dian mengurai pelukan kedua anaknya, lantas menatap dalam-dalam wajah Dirga dan Andra. Punya dua anak lelaki membuatnya selalu merasa dilindungi, seperti saat ini. "Kalian ... makasih banyak, ya, buat semuanya."

Andra mengusap jejak air mata Dian, lantas menarik pinggang wanita itu untuk ia peluk dengan satu tangan. "Don't worry, Bu."

"Dirga sama Bang Andra yang seharusnya bilang makasih buat Ibu." Dirga tersenyum. "Makasih banyak, ya, Bu, buat semuanya."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang