33¦ Bahu Rapuh Dirgantara

41 11 2
                                    

"Dirga?"

Dirga menggeleng membalas panggilan Dian. Cowok itu masih duduk di lorong dingin rumah sakit. Rambutnya kacau, pakaiannya lebih dari sekadar lembap.

"Kamu nggak mau ganti baju dulu, Nak?" Dian menatap sendu anak bungsunya.

Putra sendiri sibuk berbicara dengan Andra dan Haris, setelah tadinya Andra dipanggil oleh dokter untuk ditanya tentang bagaimana detail kecelakaan terjadi. Ekor mata Putra menatap Dirga yang sedang berusaha ditenangkan oleh Dian. Anak bungsunya itu belum mau bicara dengannya, ketika tadi Putra menepuk bahunya tanda dukungan semangat.

"Kaki Luna patah, Bu, dan itu gara-gara Dirga," lirih Dirga.

Dian mengusap punggung anak bungsunya. "Bukan salah kamu, kok."

Dirga menggeleng lelah. Usapan lembut Dian pada punggungnya membuat dada Dirga kembali sesak. Dirga selalu ingin untuk menjaga Luna, tapi, kali ini Luna celaka justru karena menyelamatkannya.

"Nak?" Dian menatap Dirga. "Kamu masih mau nangis? Nggak apa-apa, nangis aja, Ibu di sini ...."

Mata Dirga memanas luar biasa. Seolah, suara teriakan perih Luna baru saja terdengar lagi.

Derap langkah seorang wanita mendekati Dirga. Wanita berambut lurus itu membawa wajah sembapnya seusai menangis. "Dirga?"

Dirga mendongak detik itu juga. Pertahanannya kembali diguncang ketika ia bersitatap dengan Kirana. "Tante," lirih Dirga.

"Luna gimana?" tanya Kirana.

Dian mengusap bahu anaknya, tahu bahwa Dirga tak sesiap itu untuk bicara langsung dengan orang tua Luna. "Kepala Luna nggak apa-apa, Na, tapi kaki kanannya patah. Karena dari rontgen tadi terlihat bahwa patahannya ada di dua tempat dan cukup parah, maka dokter memutuskan untuk melakukan prosedur operasi."

Kirana mengusap wajahnya dengan lelah. Bahunya kembali bergetar karena tangis. Luna adalah anak satu-satunya yang ia punya, yang selalu Kirana pandangi fotonya di ruang kerja. Kirana bergetar, seraya merapal doa di dalam hati akan keselamatan putri semata wayangnya.

"Kirana, duduk dulu," ucap Dian.

Kirana menuruti Dian untuk duduk di sisi Dirga. Wanita itu memang tak mengeluarkan suara ketika menangis, tapi air matanya terus mengalir. "Jadi, Luna belum dipindah ke ruang operasi?" tanyanya.

"Belum, Tante. Om Winata masih ngurus beberapa hal. Terus tadi kata dokter, operasinya bisa dijadwalkan dan nggak begitu darurat," lirih Dirga.

"Terus, pemilik mobil yang udah nabrak Luna, gimana?"

Dirga menelan air liurnya getir. Sorot matanya tampak semakin hampa. Perlahan, cowok berambut lurus itu tertunduk.

"Pemilik mobilnya perempuan, Na. Sekarang pemilik mobilnya pergi dengan Winata, ikut mengurus beberapa hal," jawab Dian.

Kirana mengangguk paham, lantas menatap Dirga yang tertunduk. Anak lelaki tetangganya itu terlihat kacau.

"Dirga nggak ikutan luka-luka, 'kan?" tanya Kirana.

Dirga diam selama beberapa saat, kemudian mengangkat kepalanya untuk menatap Kirana. Bibirnya terasa lemah ketika Kirana menatapnya dengan sorot khawatir. "Tante, maafin Dirga," lirihnya.

Kirana berkedip lemah di kala air mata pemuda itu terlihat jelas.

"Luna kecelakaan karena nolongin Dirga, dan Dirga sendiri nggak bisa nolongin dia. Dirga bener-bener minta maaf, Tante ...." Tatapan Dirga memohon tanda maaf.

Kirana tergugu.

"Dirga yang salah, Tante. Dirga mohon maafin Dirga .... Harusnya memang Dirga aja yang kecelakaan, bukan Luna, bukan dia ...."

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang