01¦ Hanya Cemas

115 19 2
                                    

"Lo pulang jam berapa, Bang?" Dirga bertanya tatkala menemukan keberadaan Abangnya sedang sarapan di ruang makan.

"Hampir jam sebelas. Lo kayaknya udah tidur, untung gue bawa kunci rumah juga." Andra membalas sambil menatap Adiknya yang lekas mengambil seporsi sarapan usai meletakkan ranselnya di salah satu kursi. "Tumben tadi malam tidur cepet, Dir. Biasanya kalau Ibu sama Bapak nggak ada di rumah, lo sibuk main game sampe tengah malam."

Dirga mengambil segelas air selagi menunggu seporsi nasi yang ada di piringnya mendingin. Memakan sesuatu dalam keadaan sangat panas bukanlah hobinya. "Ngantuk aja. Lagian kemarin habis makan malam gue udah main bareng yang lain," balasnya sambil kembali duduk. "Hari ini gue sama temen-temen mau ada acara, soalnya."

"Game?"

"Iya, tanding sama anak sekolah tetangga."

Andra mengangguk saja. "Omong-omong, ini Luna, ya, yang nganterin telur balado?"

"Iya."

"Baik banget Luna. Kalau nggak ada dia, pasti pagi ini gue harus keluar buat nyari bubur ayam." Andra geleng-geleng kepala sambil menambah sambal. "Lo nggak ada niatan buat ngajak Luna berangkat bareng? Kasihan dia, setiap hari pergi naik ojek."

Lama Dirga diam menikmati sarapannya tanpa langsung merespons ucapan Andra. Hingga ketika nasi di piringnya tersisa sedikit, barulah cowok itu menggeleng. "Apa bedanya gue sama ojek? Sama-sama naik motor. Jadi kalaupun Luna berangkat bareng gue, rasanya sama aja, 'kan, sama naik ojek?"

Andra mendengus. "Beda. Berangkat bareng ojek sama berangkat bareng lo itu rasanya beda."

Dirga mengernyit sejenak, lantas beranjak menuju wastafel hendak mengantar piring dan gelas bekas sarapannya barusan. Ia tak paham maksud Andra. "Beda gimana, sih, Bang?"

"Ya, beda."

Dirga menggeleng tak paham sambil meraih ranselnya. "Gue berangkat duluan. Lo nanti berangkat jam berapa, Bang?"

"Bentar lagi."

Tak langsung membalas, Dirga berjalan menuju rak sepatu di dekat pintu depan. Begitu kedua kakinya mengenakan sepasang sepatu hitam, barulah ia menoleh sekilas ke belakang. "Gue pergi, Bang. Assalamu'alaikum!"

"Iya, iya! Wa'alaikumussalam!"

Seperti sebuah rutinitas, Dirga refleks mencari presensi Luna di area sekitar. Melalui sudut matanya ia lihat si Tetangga tengah berjalan menuju trotoar sambil menelepon seseorang. Entah hanya perasaan Dirga atau bagaimana, entah mengapa wajah gadis itu terlihat gelisah. Hingga ia sedikit merapikan rambut sebelum mengenakan helm pun sosok Luna tetap terlihat gelisah di pinggiran jalan. Kepala gadis itu beberapa kali menoleh ke kiri dan kanan yang menyebabkan rambut ikat satunya ikut bergerak.

Ingin bertanya apa sebab Luna terlihat gelisah, tapi untuk apa? Dirga menggeleng pelan sambil menutup kembali gerbang kediamannya. Selagi sibuk menutup, telinganya pun menangkap suara motor ojek yang barusan berhenti di depan Luna. Oh, nunggu ojek.

"Ayo, Neng."

Kepala Dirga menoleh lagi, refleks karena suara pengendara ojek tersebut terdengar asing. Benar ternyata, Luna tidak berangkat dengan ojek langganannya. Hari ini wajah pengemudi ojeknya terlihat asing di mata Dirga. Begitu gadis itu berangkat, ia pun ikut menyusul.

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang