34¦ Batas Temu yang Tak Semu

38 9 3
                                    

Sepatunya menginjak lantai putih dengan tergesa. Namun, meski tergesa, raut wajahnya tetap terlihat lemah. Seragam sekolah sengaja dibalut lagi dengan hoodie putih, agar jika sewaktu-waktu ada kejadian tak terduga, kepalanya bisa dengan mudah ikut disembunyikan di balik kepala hoodie.

"Gue udah ngasih tau lo, kalau lebih baik lo jangan jenguk dia dulu. Tadi malam dia keluar dari ruang operasi, otomatis sekarang dia masih ada di tahap pemulihan, Dir."

Dirga menahan ponselnya di telinga kanannya. Cowok itu bahkan melewatkan sarapan kali ini, demi bergegas singgah di rumah sakit sebelum tiba di sekolah.

"Sekalian aja gue nggak masuk sekolah dulu, gimana?" Dirga membuang napasnya lemah. "Gue masih mau ngikutin perkembangan keadaan dia, Bang."

"Bilang ke Bapak kalau lo masih belum mau masuk sekolah, tapi serius seminggu kemarin lo udah absen di sekolah. Lo yakin bakal absen lagi hari ini?"

Dirga menghela napasnya. "Gue masih malas di rumah, Bang, tapi kalau ke sekolah juga gue ngerasa nggak tenang," lirih Dirga. "Gue nggak tau harus gimana ...."

Andra diam cukup lama di seberang sana, membuat Dirga menelan air liurnya kelat.

"Ya udah, lo jalanin aja senyaman lo. Terserah lo mau sekolah atau nggak. Cuma ingat apa kata gue, kalau lo kelamaan absen di sekolah, lo bisa dapat surat teguran."

"Iya, gue ingat."

"Ya udah. Gue juga mau turun dulu buat sarapan. Lo jangan lupa beli apaan kek nanti, buat ngisi perut karena nggak sarapan."

"Iya."

Dirga menurunkan ponselnya dari telinga. Cowok itu menyimpan ponselnya di saku hoodie, kemudian menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Sepi, rumah sakit sepagi ini masih terlihat sepi, yang melintas hanyalah beberapa perawat dan dua orang co-assistant. Ini juga bukan jam besuk, sehingga membuat Dirga deg-degan sendiri apakah nanti dirinya malah bertemu dengan Winata atau tidak.

Sembari berjalan, Dirga dibuat murung dengan ucapan Winata kemarin. Dirga tahu ia salah karena gagal menjalankan amanah Winata untuk menjaga Luna, tapi, jika dipisahkan begitu saja dengan gadis itu, Dirga tak mau. Meski kemungkinan besarnya mereka akan tetap bertemu setiap hari di sekolah, Dirga tetap kehilangan tawa gadis itu. Di akhir, Dirga tetap akan merasa kehilangan.

Ketika langkah Dirga melambat karena berjalan sambil melamun, seseorang menepuk bahunya dari arah belakang. Langkah Dirga kontan terhenti.

"Mau apa kamu ke sini?"

Dirga terdiam menghadap Winata. Ia terlalu hanyut melamun, hingga tak sadar bahwa ada Ayah kandung Luna di dekatnya. Akhirnya, cowok itu menatap Winata meski ragu.

"Jawab saya," ucap Winata.

Dirga menarik napasnya. "Luna udah gimana, Om?" Dirga sungguh, napasnya terasa berat ketika Winata menatapnya setajam itu.

"Buat apa kamu tau kabar anak saya?"

Dirga berjanji di dalam hatinya, bahwa ia akan menjawab seluruh pertanyaan Winata dengan jujur. "Karena Dirga ... khawatir."

Winata mengeratkan pegangannya pada kantong plastik putih yang ada di tangan kirinya. Iris hitamnya menatap mata Dirga. "Khawatir?"

"Iya, Om," lirih Dirga.

"Apa yang saya tegaskan kemarin masih belum jelas bagi kamu?" Winata mengernyit. "Saya tegaskan sekali lagi, bahwa kamu jangan pernah temui anak saya lagi. Saya mau Luna fokus dalam masa penyembuhannya, kemudian masuk sekolah seperti biasa tanpa harus terlibat urusan dengan pemuda mana pun."

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang