03¦ Berat Sebelah

86 16 10
                                    

Usai subuh, Dirga menggeser tirai jendelanya guna melihat apakah ada Luna di seberang sana. Namun, sekejap kemudian cowok itu menggeleng pelan ketika menyadari bahwa itu tidak mungkin. Luna pasti sudah bangun sejak Subuh, tapi gadis itu tak mungkin pergi ke balkon lantaran harus membuat sarapan.

Dirga menyugar rambutnya yang masih setengah basah, kemudian menatap fotonya dan Andra yang diambil ketika Andra lulus dari SMA. Sejak saat itu, foto mereka selalu terpajang rapi di salah satu dinding kamar Dirga. Melihat itu, ia pun termenung mengingat memori perdebatannya dengan Putra kemarin.

Meskipun Putra selalu membanggakan Andra, sejujurnya Dirga tak pernah membenci Kakak lelakinya itu. Ia tahu bahwa Abangnya memang lebih hebat daripada dirinya. Andra tak punya salah dalam masalah ini. Bagi Dirga, Putra adalah satu-satunya orang yang patut untuk ia salahkan lantaran tak memperhatikan perkembangannya, sering sibuk ketika Dirga ingin meminta waktunya.

Dirga menghela napasnya. Terlahir sebagai anak bungsu Atharya Syahputra memang membuatnya mewarisi sifat keras kepala Putra. Dirga mengakuinya. Namun, untuk sifat pekerja keras yang bahkan saking fokusnya bekerja sampai hampir melupakan anak-anaknya, Dirga rasa ia tak mau mewarisi sifat Putra yang satu itu.

Dirga memejamkan matanya sejenak, kemudian beranjak ke luar kamar. Ia harap pagi ini akan berjalan menenangkan agar lonjakan emosinya tetap terkontrol.

"Nak, sarapan dulu." Dian memanggil anak bungsunya begitu mendapati presensi cowok itu di ujung tangga.

Dirga yang semula tak begitu selera sarapan pun seketika menghentikan langkahnya, sadar bahwa di meja makan hanya ada Andra dan Dian.

"Bapak udah berangkat kerja." Andra menatap Adiknya.

"Sarapan dulu, ya. Sini Ibu buatin makanannya." Dian tersenyum lembut agar anak bungsunya luluh.

Dirga pun memutuskan untuk ambil posisi duduk di hadapan Andra, menunggu Dian mengambil piring dan gelas.

Andra lekas menghentikan sarapannya sebelum Dian kembali ke meja makan. Tatapannya terarah pada Dirga. "Lo ... marah sama gue? Gue tau, tadi malam Bapak marah lagi dan nama gue dibawa-bawa Bapak, dibanding-bandingin sama lo."

"Makasih, Bu." Dirga menerima segelas air yang Dian bawa, lantas menatap Andra sambil menggeleng. "Ngapain marah sama lo, Bang? Bapak bener, kok, lo lebih hebat daripada gue."

"Dir, bukan gitu."

Dian meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Dirga. "Udah dulu ngobrolnya, sekarang kalian sarapan, yuk."

Dirga segera melahap sarapannya. Untuk beberapa alasan ia sangat merindukan masakan Dian.

"Sekarang ini ... setiap kali lo pulang telat dari sekolah pasti Bapak bakal mikir kalau lo itu habis keluyuran ke mana-mana. Walau mungkin kenyataannya lo cuma main ke kafe depan sekolah atau ke rumah Haris. Kemarin aja Bapak marah gara-gara itu, 'kan?" ucap Andra. "Gini, Dir, main boleh-boleh aja buat hiburan, tapi kasih tau Bapak dulu sebelum pergi."

Memang kalau gue kasih tau, Bapak mau kasih izinnya? Dirga tersenyum kecil menanggapi ucapan Andra di dalam hati. Secepat mungkin ia menandaskan sarapannya.

Dian duduk di sisi kanan si Bungsu sambil membawa segelas teh untuk dirinya sendiri. "Udah. Nggak usah dibahas lagi masalah kemarin. Cukup dijadiin sebagai pelajaran."

Andra akhirnya mengangguk patuh pada Dian.

"Eh, itu Ibu lihat di lemari piring ada kotak bekal baru, tapi kayaknya bukan punya Ibu, deh. Itu punya Luna?"

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang