Dengan ransel di punggung dan segenap keberaniannya, Luna pun menginjakkan kakinya di sebuah tempat. Luna ingin masuk, tapi tak berani. Gadis berkulit kuning langsat cenderung putih itu menggigit bibirnya bingung. Sejenak Luna memalingkan wajahnya pada bangunan putih-biru muda yang berada di seberang jalan. Luna baru sadar, bahwa ada masjid di seberang jalan.
Ketika seorang cowok berkumis tipis datang dari arah jalanan, Luna pun bergerak minggir agar ia tak menghalangi jalan orang. Sekilas pemuda tadi berhenti berjalan untuk melihat Luna, kemudian ia berbalik badan dan berhenti sepenuhnya.
"Kamu siapa? Kok, di kosan cowok?"
Luna terkesiap. Iris jernihnya berkedip cepat. Meski bicara dengan bahasa Indonesia, aksen sunda masih kental dalam suara cowok itu.
"Ditanya malah diem." Cowok tadi mengernyit.
Luna akhirnya menghela napas berat, ia mendongak berani. "Boleh tolong panggilin Dirgantara, Kang? Saya ada perlu sama dia," tanya Luna.
"Dirgantara?" Pemuda itu diam sejenak. "Ooh, yang anak baru itu?"
Luna mengangguk. "Iya, dia baru masuk ke kosan ini sejak kemarin, Kang."
"Oh iya. Sebentar, saya panggilin dulu anaknya."
Luna lega karena teman satu indekos Dirga ternyata ada yang seramah itu. Bayangannya tentang indekos cowok sebenarnya sangat menyeramkan.
Luna mengeratkan pegangannya pada ransel yang tersampir di pundak kanannya. Iris jernih gadis itu menatap langit sore dengan sendu. Ketika Luna memejamkan matanya untuk menarik napas, seseorang berhenti di dekatnya. Luna tahu orang itu telah berjalan secepat mungkin untuk menemuinya. Perlahan, Luna membuka matanya dan berbalik ke belakang.
"Luna?"
Luna tak bisa menahan air matanya, terutama, ketika cowok itu menatapnya dengan khawatir.
"Aku cengeng, ya ...." Luna mengusap wajahnya yang memerah lagi karena sempat menangis kecil. "Maaf, malah jadi aku yang nangis karena ngelihat kamu."
Dirga tak tahu harus mendefinisikan perasaannya dengan kata apa lagi. Melihat Luna menangis, Dirga tak suka. Khawatir memenuhi setengah relung hati Dirga ketika ia membayangkan, bahwa Luna nekat pergi dengan ojek hanya untuk menemuinya. Gadis itu datang sendirian, di sore hari seperti ini, dengan jarak tempuh yang menurut Dirga cukup jauh untuk ukuran Luna.
"Jangan nangis lagi, ya," lirih Dirga. "Please ...."
Luna menarik napasnya pelan-pelan, kemudian mengangguk kecil. "I-iya."
Senyum Dirga terbit dengan tipis. Ia memilih untuk membiarkan Luna tenang lebih dulu, daripada harus berbincang hingga gadis itu bertambah sedih. Membawa Luna duduk di warung soto yang ada di sebelah indekos membuat Dirga sadar, bahwa beberapa anak kos yang pulang pasti menatap Luna dan dirinya, mungkin bingung karena Dirga memang anak baru. Beruntung karena warung sotonya sudah tutup, hanya menyisakan dua bangku berhadap-hadapan dan sebuah meja kayu yang disusun di depan warung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Universum
Teen FictionDALAM REVISI, BEBERAPA BAB MUNGKIN BELUM DIPUBLIKASIKAN KEMBALI [Universum] Mereka tumbuh berdampingan. Tahu perasaan masing-masing hanya dengan satu tatapan. Berjalan bersebelahan, saling diam menatap langit malam. Luna ingin menjadi gadis yang ha...