27¦ Butuh Bahu untuk Bersandar

57 11 12
                                    

"Lepasin Mama."

Bukannya melepaskan Kirana, Luna malah mengeratkan pelukannya pada wanita itu.

"Luna, Mama bilang sekali lagi, lepasin Mama!" Suara Kirana terdengar semakin kuat.

"Kenapa Mama mau pergi lagi? Mama nggak peduli sama Luna atau gimana? Luna udah segede ini, lho, Ma, apa Mama masih mau buat terus-terusan pergi? Luna kangen Mama yang dulu," ucap Luna.

"Untuk sekarang, Mama belum bisa buat ketemu Papa kamu lagi. Mama butuh waktu, Luna," lirih Kirana. Ia berusaha untuk melepaskan pelukan putrinya. Matanya memerah menahan air mata.

"Iya waktunya sampai kapan? Udah dua tahun lebih, lho, Ma." Luna ingin bicara lagi, tapi ia tersentak karena Kirana melepaskan paksa pelukan mereka. Bahkan, Luna nyaris terjatuh karena dorongan Kirana.

Winata menilik wajah memerah Luna. Putrinya sedang emosi, Winata tahu itu. Lantas untuk menatap Kirana, Winata masih ragu untuk melakukannya. Ia tahu, kesalahnya pada Kirana terlalu dalam, tak pantas untuk dimaafkan.

"Please, Ma, ayo Mama ikut jalan sama Luna. Kita bisa ngabisin waktu sore bertiga bareng Papa, biar semuanya kembali kayak dulu lagi." Luna berusaha untuk menggapai tangan Kirana.

"Nggak. Mama harus pergi." Kirana berbalik ingin pergi. Rambutnya yang lurus diterpa angin sore dengan kencang.

"Mama nggak pernah nganggap kalau Luna ini berharga, ya? Kalau gitu, sekalian aja anggap Luna ini udah nggak ada lagi di dunia." Luna bicara dengan lirih, membuat langkah Kirana terpaku. "Mama yang selalu nggak mau baikan sama Papa ngebuat Luna merasa kalau Luna ini hidup sendirian di sini. Selalu sendirian, nggak ada keluarga. Kalian yang punya masalah, tapi kenapa malah semuanya ngejauhin Luna? Semuanya ninggalin Luna, nuntut kalau Luna harus bisa hidup dewasa, mandiri, nggak manja."

Kirana mengepalkan tangannya ketika suara putrinya mulai terdengar bergetar. Perlahan ia menoleh ke belakang, dan mendapati bahwa memang benar adanya pelupuk mata Luna sudah dipenuhi oleh air mata.

"Kalau Mama nggak mau baikan sama Papa, itu sama rasanya dengan Mama yang nggak nganggap Luna ini anak kalian." Luna menatap Kirana. "Kalau memang Mama sayang Luna, seharusnya Mama mau baikan sama Papa. Nggak perlu jaga ego dan nunggu Papa yang minta maaf duluan. Mama sama Papa itu sama-sama egois, sama-sama nggak mau ngalah. Padahal sejak dulu, Luna pengin punya kalian lagi di sisi Luna ...."

Kenangan ketika Luna dilahirkan ke dunia membuat Kirana disiram fakta, bahwa kini, ia Ibu yang jahat.

"Sekarang Luna mau Mama jawab. Sebenarnya Mama masih sayang atau nggak sama Luna? Tolong Mama jujur, biar Luna nggak perlu berharap banyak lagi sama Mama ...."

"Sayang. Mama sayang banget sama kamu," jawab Kirana. "Mama jujur, Luna. Selama ini Mama kerja siang-malam juga buat kamu, saking Mama sayangnya sama kamu."

"Terus sama Papa, gimana?" tanya Luna. "Apa Mama masih sayang sama Papa?"

Winata tertegun mendengar pertanyaan Luna. Dapat ia lihat, bahwa Kirana mematung karena pertanyaan itu. Detik demi detik yang terlewat sia-sia membuat Winata maju dan bergerak untuk merengkuh Luna ke dalam pelukannya.

"Pa ...." Tangis Luna pecah di dalam pelukan Winata. Rambut lurusnya dicium berkali-kali oleh Winata dengan harapan agar ia menjadi tenang.

"Ssst, jangan nangis." Winata memejamkan matanya sambil mengusap punggung Luna. "Ada Papa di sini, kamu nggak perlu sedih."

Kirana menghapus air matanya yang nyaris jatuh. Wanita itu ingin menarik Luna agar bersandar dalam pelukannya saja, tapi sadar kalau Winata sedang berusaha untuk menenangkan putri mereka.

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang