39¦ Orang Tuanya

55 10 4
                                    

Kalau kata orang, untuk fokus mengerjakan sesuatu itu ada susahnya. Selalu ada pengganggu kefokusan di mana-mana. Bertahan untuk fokus selama delapan tahun bukanlah perkara mudah. Namun, Dirga termasuk salah satu orang yang dapat menembus waktu delapan tahun tersebut. Bahkan meski dirinya selalu dibicarakan di kantor, ia tetap mendirikan benteng cuai. Masa bodoh saja.

Iris hitam Dirga menatap Haris dan Ananda yang berdiri di depan sana dengan senyuman lebar. Dirga sendirian di tengah keramaian. Helaan napas mengakhiri tatapan lurus Dirga. Cowok itu membuang muka, beralih menatap layar ponselnya sendiri.

Alunan musik masih menerobos indra dengar Dirga walau fokus Dirga bukan untuk mendengarkan lagu. Pemuda itu bersandar pada kursi, lantas menggulir layar ponselnya untuk menatap foto-foto lama. Rambut lurusnya jatuh ke pelipis ketika ia menunduk. Lama Dirga terdiam dengan mulut tertutup, hingga tiba-tiba ia tersenyum kecil. Bibirnya lekas digigit agar senyumnya tak ada yang tahu.

Ketika sebuah foto berhenti Dirga gulir, air mukanya pun menyendu. Iris hitamnya berkedip pelan menatap foto tersebut. Benaknya dengan serta-merta mengulang memori delapan tahun yang lalu, ketika usianya masih tujuh belas tahun, masih menjadi remaja super labil yang emosinya susah dikontrol.

Dirga ingat ketika dirinya dan gadis itu masih bersama, masih bisa membuat tawa gadis itu mengalir di udara, masih bisa melihatnya tersenyum dan menunjukkan segudang ekspresi lainnya. Dirga ingat, dan ia rindu. Hingga, kedatangan Alwi membuatnya lekas mengangkat kepalanya.

"Udah lama? Sorry banget, telat." Alwi mengambil tempat duduk di sebelah Dirga. "Tirta mana?"

"Di jalan mungkin. Orion juga."

Alwi melepas jam tangannya karena tadi dipasang terlalu erat. Cowok berkulit putih yang tinggi badannya sedikit di bawah Dirga itu terlihat lelah. "Oh iya, nggak nyangka, ya, kalau Haris yang nikah duluan di antara kita-kita."

Dirga tersenyum kecil. "Iya."

"Jadi gini, walaupun kita kuliah di Bandung semua, tetap aja ceweknya dapat orang Bogor." Alwi terkekeh.

"Lo sendiri, Wi, jadi tanggal berapa lamaran?" tanya Dirga.

"Belum pasti tanggalnya. Akhir bulan depan, mungkin."

Dirga mengangguk, lantas menoleh ke belakang karena sosok Tirta dan Orion baru saja tiba. Tirta tersenyum lebar sambil melambai pada Haris dan istrinya. Orion sendiri hanya tersenyum, lantas duduk di kursi kosong.

"Udah pada makan? Kuy, makan. Asli gue lapar," ajak Tirta.

"Duduk bentaran, elah. Capek habis lari-larian," balas Orion.

Tirta mendecak, lantas tersenyum manis pada meja panjang berisi barisan minuman dingin. "Gue ambil minum dulu, ye."

Dirga, Alwi, dan Orion hanya diam.

"Seneng banget, si Haris," lirih Orion setelah ia diam cukup lama. Lagu-lagu yang diputar membuat suaranya nyaris tak terdengar.

"Nikah sama cewek yang memang dia perjuangin, pasti senang banget hatinya," jawab Alwi.

"Oh iya, gue kayaknya nggak bisa lama-lama, nih. Soalnya Agni nelepon, minta jemput di rumah sepupu," ucap Orion.

Dirga menoleh pada Haris di kejauhan. "Agni gimana kabarnya, Yon?"

"Baik. Sejak sembuh dari trauma, dia bener-bener balik lagi cerianya."

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang