28¦ Kamu, di Mana?

52 10 4
                                    

Andra menyendu. Dirga benar-benar pergi dari rumah mereka. Setengah jam yang lalu tepat ketika azan Magrib berkumandang, Dirga meletakkan kunci motornya di atas meja makan, di hadapan Bapak mereka. Selanjutnya, tanpa mengatakan sepatah kata pun Dirga berlalu pergi. Bahkan, tanpa pamit pada Ibu mereka yang menangis dalam diamnya.

Andra berjalan menuju tangga dengan semangat belajar yang terkuras habis. Jangankan belajar, makan pun terasa berat. Andra masih belum bisa percaya bahwa Dirga memang meminjam uang temannya sebanyak itu. Dirga bukan pemboros, juga bukan orang yang suka mengantongi banyak uang sambil tersenyum bangga. Rasanya berat, untuk menerima kenyataan bahwa Adiknya melakukan semua itu.

Langkah Andra terhenti di dekat tangga. Tatapannya tertuju pada novel yang tadi dikoyakkan oleh Putra. Perlahan Andra berjongkok, lantas memungut novel itu beserta semua sobekan kertas yang berserakan. Setelah itu, ia berjalan menuju kamar Dirga sambil mengingat raut wajah Dirga ketika novel itu dihancurkan oleh Bapak mereka. Mengingatnya, membuat Andra merasa bahwa novel itu punya harga tinggi dari sudut pandang Dirga.

Begitu Andra duduk di atas tempat tidur Dirga dan menatap novel yang ia pegang, senyuman sendu lekas terukir di wajah Andra. Kertas pembungkus novel itu ternyata punya gambar langit malam, ada bulan dan bintang yang mewarnai kertas itu. Melihatnya, seketika membuat Andra paham bahwa novel itu ternyata Dirga beli untuk seseorang.

"Buat Luna, ya?" lirih Andra.

"Gue baru ingat kalau ternyata besok gue ada turnamen. Kalau gue menang, bakal dapat hadiah uang. Uangnya lumayan, bisa gue beliin hadiah buat Luna."

Andra ingat perkataan Dirga waktu itu. Lihat, untuk sekadar membeli novel saja Dirga butuh berpikir selama beberapa waktu. Rasanya mustahil jika Adiknya itu bisa meminjam uang temannya sebanyak delapan puluh juta, tanpa berpikir barang satu-dua detik.

Tangan Andra terkepal. Wajah ramahnya menegas. "Dirga nggak mungkin ngelakuin semua itu. Nggak mungkin ...."

Luna menatap kedua kakinya yang dibalut oleh sepasang sepatu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luna menatap kedua kakinya yang dibalut oleh sepasang sepatu. Rambut hitamnya dibiarkan terurai, agar tak banyak orang yang tahu bahwa wajahnya terlihat sendu. Bibir gadis itu terkatup rapat ketika ia menyandarkan dirinya pada beton yang berada di sebelah gerbang. Ekor matanya menyadari keberadaan Winata yang menatapnya dari kejauhan. Luna masih terlalu lelah pada tingkah Winata, membuat gadis itu menolak tawaran Winata untuk mengantarkannya ke sekolah.

Luna menggigit bibirnya sambil menunggu Dirga. Raut wajah gadis itu terlihat semakin sendu. Ia hanya ingin bertemu dengan pemuda itu secepat mungkin, ingin bercerita tentang permasalahan kedua orang tuanya, ingin menangis tanpa takut Dirga menganggapnya cengeng.

Luna butuh Dirga.

"Luna?"

Luna menoleh setengah kaget ketika ia dapati Andra datang dan membuka gerbang kediamannya. Luna lekas memaksakan senyuman kecilnya. "P-pagi, Kak."

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang