"Pokoknya, besok-besok kita ketemuan lagi."
Luna menahan tawanya karena Rehara masih tak mau pulang. Adiba bahkan dibuat tak berdaya, karena Rehara yang tak mau bangkit dari duduknya. Mengobrol panjang-lebar selama hampir satu jam lamanya membuat waktu magrib semakin dekat.
"Biasanya kita bertiga cuma ngbrol di whatsapp, Lun." Rehara menatap Luna dan Adiba bergantian. "Masih kangen tau ngobrol offline gini."
"Re, tuh, Adiba udah ditelepon sama calonnya, ditanyain udah pulang atau belum." Luna melirik Adiba yang barusan ditelepon oleh seseorang.
"Ih, bukan ditelepon sama siapa-siapa, kok." Adiba mengerjap seraya mematikan ponselnya.
"Terus kenapa nggak diangkat teleponnya? Hayo?" Rehara menaikkan sebelah alisnya disertai senyum curiga. "Pasti yang barusan nelepon itu calon imam. Aku yang masih berusaha move on, mah, bisa apa?"
Dirga menatap jam tangannya, kemudian melirik tiga perempuan yang masih sibuk mengobrol di hadapannya. Bagaimana Dirga bisa mengajak pulang jika begini ujungnya?
"Kayaknya udah terlalu sore, deh. Lebih baik kita pulang aja. Kalian bisa ngobrol lain kali karena Luna udah stay di Bogor," ucap Dirga.
Rehara cemberut. "Dir?" panggilnya.
"Apa?"
"Please kenalin gue sama satu cowok yang mirip sama lo."
Dirga mengernyit.
"Makin sore kayaknya makin lelah, Re. Kamu butuh banyak istirahat supaya bisa berpikir normal lagi." Adiba bercanda seraya menyikut Rehara. Gadis berjilbab hijau pastel itu menahan tawa.
Luna tertawa. Tak lama kemudian, Luna lihat Rehara pun bangun dari duduknya dengan wajah yang masih cemberut.
"Iya, deh, ayo pulang. Oh iya, buat kerja di apotek kenalan aku tadi, kamu bisa langsung coba datang ke apoteknya, ya, Lun. Entar bilang aja kalau kamu kenalannya aku."
Luna mengangguk.
"Duluan, ya, Dir, Lun," pamit Adiba.
"Bye. Kalian juga buruan pulang."
Seperginya Adiba dan Rehara, Luna dan Dirga pun bangkit dari duduk mereka. Karena tadi makanan dan minuman yang mereka pesan sudah dibayar bersama-sama, jadi Luna dan Dirga lekas berjalan menuju lahan parkir.
"Waktu belum balik ke Bogor, kamu sering kontakan sama mereka berdua?"
Luna menoleh. "Iya."
Dirga mengangguk saja, terus berjalan.
"Sama Kak Andra juga masih aktif kontakan, tau. Kak Andra kadang cerita, tentang gimana kesibukan kamu. "
"Hah? Serius?"
"Iya." Luna mengangguk. "Yang nggak pernah itu, ya, kontakan sama Dirga," ucap Luna. "Soalnya Dirga juga nggak nelepon duluan. Jadi aku ragu buat nelepon kamu. Waktu aku ulang tahun yang kedua puluh, Kak Andra nelepon, dan cerita panjang-lebar kalau di Januari lalu ketika kamu ulang tahun ... kamu nyaris nangis."
Dirga berkedip lemah mendengar cerita itu. Benaknya mengulang momen itu, di ulang tahunnya yang kedua puluh, ketika ia diam di dalam kamar indekos dan overthinking perihal masa depan. Kala itu, hanya Andra yang bisa ia telepon untuk berbagi cerita, bercerita bahwa ia takut sulit mendapat pekerjaan sesusai tamat kuliah, ia takut gagal, ia takut kecewa pada nasibnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Universum
Teen FictionDALAM REVISI, BEBERAPA BAB MUNGKIN BELUM DIPUBLIKASIKAN KEMBALI [Universum] Mereka tumbuh berdampingan. Tahu perasaan masing-masing hanya dengan satu tatapan. Berjalan bersebelahan, saling diam menatap langit malam. Luna ingin menjadi gadis yang ha...