36¦ Jarak

50 11 3
                                    

Dirga berhenti di kejauhan ketika denyut jantungnya terasa meningkat. Cowok itu melepas topi yang tadi sempat ia kenakan. Iris hitamnya bergeming tanpa kedip, meski, sorotnya terlihat jauh lebih sendu daripada lima menit yang lalu. Setelah seminggu lebih diam-diam sering menanyakan kondisi Luna pada beberapa orang yang datang menjenguk gadis itu, akhirnya saat ini tiba.

"Au, masih sedikit sakit, Kak."

"Mau istirahat dulu?" Seorang perawat wanita memegang bahu Luna ketika gadis itu mengadu.

"Iya, istirahat dulu aja, Luna. Nanti kalau nyerinya udah hilang, kamu bisa latihan lagi," tambah Kirana.

Luna diam sejenak sambil menatap kaki kanannya yang dibalut dengan gips. Anak rambutnya melambai ditiup angin. "Tapi, tadi pagi Luna udah bisa jalan pake kruk, Luna udah lumayan lancar."

"Iya, tapi sekarang kakinya nyeri, 'kan? Itu tandanya kamu butuh istirahat." Perawat wanita itu kembali memberi saran.

Luna mengepalkan tangannya yang memegang tongkat. Alisnya tertekuk gelisah. Sudah lebih dari sepuluh hari Luna tak bisa berjalan, dan ini hari pertamanya diizinkan oleh dokter untuk berjalan menggunakan kruk-tongkat. Ia harus bisa berjalan, sebelum hari Sabtu datang dan Dirga tampil sebagai vokalis di atas punggung.

"Istirahat, ya?" Kirana menatap Luna.

Luna akhirnya mengangguk pelan.

"Yuk, duduk dulu." Kirana membantu Luna untuk duduk di kursi panjang berbahan besi yang berada di halaman samping rumah sakit.

"Kalau gitu saya tinggal ke bangsal sebentar, ya, Bu." Perawat yang tadi membantu Luna pun izin pamit pada Kirana.

"Oh, iya. Makasih ya, udah dibantuin."

"Baik, Bu."

Luna meletakkan kruknya di sisi kursi, lantas memperbaiki ikatan rambutnya yang terasa longgar. Sore di hari Kamis ini terasa cukup segar bagi Luna, mungkin karena belakangan ini ia hanya beristirahat di kamar rawat.

"Mau minum?" tanya Kirana.

"Memang Mama bawa minum?"

"Nggak, sih, tapi bisa Mama ambilin ke kamar. Sebentar, ya, Mama ambilin dulu sekalian mau ke toilet." Kirana mengusap bahu Luna sebelum beranjak pergi.

Luna ditinggal sendirian di bawah pohon ketapang. Gadis itu menatap kaki kanannya yang masih dibalut kuat oleh gips. Ia ingin bisa berjalan meski itu harus dengan bantuan kruk. Ia harus bisa.

Luna termenung di kursinya, tanpa tahu bahwa Dirga masih berdiri di kejauhan untuk menatapnya.

"Kakinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kakinya ... masih nyeri," lirih Dirga.

Untuk yang pertama kalinya seusai gadis itu dibawa ke luar dari ruang operasi, Dirga akhirnya dapat menatapnya lagi. Dirga tetap merasa sedikit beruntung karena dapat melihat dia, meski hanya dari kejauhan.

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang