02¦ Jangan Terlalu Baik

98 18 8
                                    

Apa yang Luna khawatirkan benar-benar terjadi sore ini. Sekitar setengah jam setelah azan Magrib berkumandang, di saat langit telah gelap sepenuhnya, barulah Dirga pulang dari acaranya di kafe tadi. Sosok cowok itu yang baru pulang dikagetkan oleh keberadaan mobil milik Bapaknya yang terparkir rapi di depan garasi.

Luna menyendu, duduk di beranda kamarnya untuk berusaha menatap Dirga dari sana. Setelah ini, ia yakin si Tetangga akan masuk dalam lingkar perdebatan dengan Bapaknya lagi. Selama beberapa sekon, netra hitam Luna menatap kamar Dirga yang berhadapan langsung dengan balkon kamarnya. Lampu kamar cowok itu masih belum menyala, tanda bahwa pemiliknya pun belum masuk ke sana. Napas Luna berembus lelah, kemudian tangannya meraih beberapa buku pelajaran yang niatnya ia baca sambil duduk di balkon.

Dirga pasti sedang didebat habis-habisan oleh Bapaknya, dan Luna tahu, bahwa Dirga tidak seburuk apa yang Bapaknya lihat.

"Jadi begini, kelakuan kamu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi begini, kelakuan kamu?"

Di ruang keluarga yang auranya terasa begitu dingin, Dirga akhirnya berdiri saling hadap dengan sosok lelaki berusia 40-an tahun yang bukan lain ialah Bapaknya sendiri, Atharnya Syahputra. Dian-Ibu kandung Dirga dan Andra-hanya duduk di salah satu kursi tanpa punya kesempatan untuk menyelamatkan anak bungsunya dari amukan sang Bapak.

"Kenapa cuma diam, Dirgantara?"

Dirga benar hanya diam tanpa membuka mulut menjawab pertanyaan Putra. Karena ia tahu itu percuma, Putra tak akan percaya pada apa pun jawabannya nanti.

"Bapak bingung sama kamu, Dirga. Udah berapa kali Bapak bilang, kamu jangan ikutan main lagi! Sekarang apa? Waktu kamu dari jam tiga sore sampai lewat Magrib gini habis buat main doang!" Putra membuang napas kasar, tak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan kemarahannya. Matanya memandang Dirga dengan amarah berkobar. "Jangan-jangan selama Bapak sama Ibu di luar kota, kamu selalu pulang telat kayak gini, iya?"

Dirga hanya bertahan dalam diamnya. Pemuda itu memegang ransel hitamnya guna mencari kesabaran. Jika Putra marah karena Dirga tak pulang ke rumah tepat waktu atau karena dirinya diam-diam masih mencari hiburan dengan cara bermain sepulang sekolah, ia juga marah pada Putra yang selalu memandang dirinya sebelah mata.

Putra mengernyit menatap anak bungsunya. Dari tatapan Dirga yang datar, Putra merasa seolah tengah ditantang langsung oleh anaknya sendiri. "Bagus, ya. Sekarang kamu nggak ada takut-takutnya sama orang tua. Sikap kamu banyak yang rusak!"

Dian tertegun begitu sadar bahwa di bawah sana tangan kiri Dirga mulai terkepal. Ia tahu, bahwa anak bungsunya itu juga dapat menjadi sosok yang sama kerasnya dengan Putra dalam waktu sekejap mata.

"Lihat Abang kamu! Andra anaknya baik, cerdas, tau mana yang baik mana yang buruk! Beberapa tahun lagi dia akan jadi dokter, sedangkan kamu? Kamu mau jadi apa, Dirga?!" Putra menyentak. "Kamu mau jadi pengangguran? Punya Abang sebaik itu bukannya dijadikan contoh. Belajar dari Andra!"

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang