37¦ Tolong

53 11 4
                                    

Malam sepi tanpa hujan membuat Dirga duduk di balkon dalam kesendirian. Pemuda yang lahir pada tanggal 06 Januari 2002 itu menghela napasnya. Netranya yang sehitam langit malam menerawang pada gelapnya langit. Sejenak ia menggigit bibirnya dengan lemah. Sore tadi usai Luna pergi, selalu ada sisi di dadanya yang terasa sedikit aneh.

Besok, Dirga harus bisa tampil. Kini ia memangku gitar akustik dengan bahu lemah, butuh sandaran. Padahal, besok, Dirga rencananya akan memberikan hal berbeda untuk dia. Dirga hanya anak SMA yang memang tak punya apa-apa tanpa kedua orang tuanya, juga tanpa nyawa dari Tuhan, tentu Dirga hanyalah setumpuk daging tanpa makna. Apa yang ingin Dirga berikan pada Luna bukanlah hal yang begitu memukau, melainkan, hanya unjuk kemampuan yang Dirga usahakan selama beberapa malam terakhir.

Ketika Andra datang ke balkon Dirga dan menemukan Adiknya itu tengah memangku gitar sambil menatap langit, dirinya pun terkekeh. Dirga kalau galau begitu, jadi terlihat menyedihkan. Apalagi kini kedua telinganya ditutupi oleh earphone, tanda bahwa Dirga memang tengah mendengarkan lagu. Dengan segenap penasaran tangan Andra pun terulur untuk menarik sebelah earphone yang Dirga gunakan.

"Dengerin apa?"

Tanpa repot-repot menjawab pertanyaan Andra, Dirga lebih memilih untuk melepas sambungan earphone dari ponselnya, hingga lagu yang tadi ia dengarkan dapat didengar oleh lawan biaranya. Matanya pun menatap Andra yang akhirnya tertegun. Dirga tahu, Abangnya itu kenal dengan lagu yang ia putar.

"Lagu ... kesukaan Luna?" tanya Andra.

Lagu berjudul Tolong yang dibawakan oleh Budi Doremi, lagi. Rasanya Dirga juga suka lagu itu, dan liriknya telah tertulis rapi di benak Dirga. Ia suka lagu itu bukan karena lagu tersebut kesukaan Luna. Melainkan karena makna liriknya sesuai dengan perasaan Dirga yang sekarang.

Andra meletakkan sebuah novel-yang waktu itu sempat dirampas oleh Bapak mereka-di meja kecil yang ada di balkon Dirga. Cowok bernama lengkap Affandra Diratama itu memilih untuk ikut mendengarkan lagu tersebut hingga akhir.

Ketika lagu berakhir, Dirga membuang napas lirih di bawah tatapan sendu. "Kalau besok gue bawain lagu ini ... kira-kira bakal bagus, nggak, ya?"

Andra menoleh pada Dirga.

Dirga menerawang pada langit malam, mengintip bulan yang bersembunyi di balik awan. Malam ini cukup indah dengan segala pernak-perniknya. "Udah tiga hari belakangan ini gue latihan, buat bawain lagu ini," lirih Dirga. "Gue nggak tau suara gue cocok atau nggak sama lagunya, tapi ... gue pengin bawain itu buat Luna."

Andra ikut mendongak menatap langit. Senyuman kecil pemuda itu terlihat. "Bagus, kok. Suara lo itu enak dibawa ke mana-mana. Asal lo fokus, lo pasti bisa."

Dirga menghela napasnya. "Tapi kayaknya percuma gue tampil bawain lagu ini, Luna aja udah pindah."

Andra memegang erat pagar pembatas balkon Dirga. Cowok kelahiran 1999 itu menatap bulan dalam-dalam seolah tangannya ingin menggapai benda langit tersebut. "Dir, lo mau tau salah satu rahasia langit?"

Dirga tak menoleh, tapi tersenyum lelah. "Memang, apa?"

Sekian sekon berlalu dan Andra hanya diam membiarkan suara jangkrik sayup-sayup terdengar. Sejenak kemudian, bibirnya melengkung. "Bulan memang nggak selalu terlihat, tapi dia selalu ada ...."

Dirga terdiam ketika angin menyapa dirinya. Benaknya memutar gambaran sore tadi, ketika Luna sempat tersenyum kecil padanya di antara desir angin.

"Sejatinya, bulan dan bintang itu selalu ada di langit, cuma kadang ketutup sama awan mendung. Kita cukup tunggu sampai mendungnya pergi, nanti, bulan dan bintang bakal kembali kelihatan." Andra menoleh sembari menepuk bahu Dirga. "Semangat, dong."

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang