Luna membawa sekotak makanan di tangan kanannya. Gadis itu melirik Haris di kejauhan seraya mengangguk singkat. Seusai berbincang dengan Haris tadi, cowok itu pun minta tolong agar Luna menunjukkan kepadanya di mana Dirga berada.
Iris jernih Luna mencari-cari keberadaan Dirga di halaman depan indekos. Pintu indekos terbuka lebar, tapi tak ada siapa pun yang terlihat mondar-mandir di sekitar sana.
"Luna?"
Luna menoleh kaget ketika Dirga muncul dari arah samping indekos. "Hai," sapa Luna.
Dirga berdeham. "Udah lama?"
Luna tersenyum kecil sambil menggeleng. "Baru, kok."
Ketika Luna menyampirkan anak rambutnya ke balik telinganya, segerombol cowok yang Luna perkirakan adalah para mahasiswa memasuki area indekos. Satu-dua di antara mahasiswa itu melirik Dirga dan Luna.
Dirga berdeham lagi. "Lun, kita ke depan warung yang kemarin aja, ya."
Belum sempat Luna mengangguk, Dirga sudah mendorong bahunya untuk berjalan menuju gerbang.
"Bening, tuh, ceweknya. Bener mereka pacaran?" Salah satu mahasiswa menceletuk ketika Dirga dan Luna lewat.
Luna menoleh pada Dirga, yang Dirga balas dengan jari telunjuk di depan bibirnya.
Dirga membawa Luna berhenti di depan warung soto seraya menatap kedua mata gadis itu. "Anak-anak kosan pada sering ngegangguin cewek yang mampir ke kosan." Dirga bicara. "Kemarin aja banyak yang nanyain lo ke gue."
Luna menatap Dirga, lantas melirik segerombol mahasiswa yang kini duduk di teras indekos.
"Nggak usah dilihatin lagi. Kemarin aja gue kesel setengah mati gara-gara mereka pada nanyain lo." Dirga memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Ada yang nanyain nama lo, kelas berapa, rumah di mana. Macam-macam pokoknya."
Luna menghela napasnya, kemudian menyodorkan sekotak makanan kepada Dirga. Ada senyuman kecil di wajah gadis itu. "Aku bawain makanan, nih."
Meski Luna tersenyum, Dirga tetap merasa waswas pada segerombol cowok yang masih melirik Luna dari teras indekos.
"Dirga, mukanya, kok, ditekuk terus? Ini aku bawain makanan."
Dirga meletakkan makanannya di atas meja kayu tempatnya dan Luna mengobrol kemarin. Sejenak Dirga mengacak rambutnya, kemudian menatap Luna dengan tegas. "Lun, tolong mulai besok lo nggak perlu datang lagi ke sini, ya," ucap Dirga.
Luna mengerjap. "K-kenapa?"
"Ini kosan cowok, isinya cowok semua, Lun. Lo ngerti, 'kan, kalau gue takut lo diapa-apain sama mereka?" Mimik wajah Dirga berkedut menahan khawatir.
"Tapi, 'kan, nggak semua mereka kelihatan jahat? Ada, kok, yang baik. Kamu juga baik," balas Luna.
Dirga menggeleng. "Sebaik apa pun cowok, kalau otaknya nggak bisa dijaga, nggak bakal ada lagi yang namanya cowok baik, Lun," tegas Dirga.
Luna tertegun.
"Gue cuma nggak mau lo kenapa-napa," lirih Dirga.
Luna terdiam cukup lama tanpa menjawab ucapan Dirga. Hingga ketika rambut lurusnya diterpa angin, barulah gadis itu mengalihkan tatapannya dari Dirga. "Tapi ... kalau aku pengin datang ke sini, gimana?"
Dirga diam, bingung harus bagaimana. Ia suka Luna datang mengunjunginya, tapi di sisi lain ia juga khawatir jika gadis itu malah mendapat bahaya.
Luna menarik napasnya sambil mengangguk paham. "Ya udah, aku doain aja supaya kamu cepat baikan sama Om Putra, biar kamu bisa pulang ke rumah, dan aku nggak perlu main ke sini lagi kalau aku pengin ketemu kamu," final Luna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Universum
Teen FictionDALAM REVISI, BEBERAPA BAB MUNGKIN BELUM DIPUBLIKASIKAN KEMBALI [Universum] Mereka tumbuh berdampingan. Tahu perasaan masing-masing hanya dengan satu tatapan. Berjalan bersebelahan, saling diam menatap langit malam. Luna ingin menjadi gadis yang ha...