05¦ Kendali Diri

71 14 20
                                    

Derap sepatu yang menyentuh lantai terdengar beriringan dengan ramainya suara siswa-siswi. Dua penjaga gerbang masih sibuk memeriksa surat-surat kendaraan dan izin mengemudi milik para murid sebelum mereka diizinkan untuk memasuki lahan parkir. Satu gerobak bubur ayam yang berhenti di depan sekolah pun masih ramai dikelilingi oleh mereka yang berburu sarapan. Ramai, seperti biasanya.

Ramai, seperti bisingnya isi kepala Dirga saat ini. Cowok dengan sorot mata datar itu meletakkan helm, lantas bersiap menuju kelas. Benaknya sibuk memikirkan agenda game sore nanti, penting baginya karena hadiah yang disediakan oleh kafe tergolong bagus untuk ajang main-main dengan skala kecil begitu. Benaknya berputar, memikirkan bagaimana caranya agar ia tetap dapat bermain tanpa harus memperburuk pandangan Putra terhadap anak bungsunya ini. Ingin meminta izin, tapi Dirga tahu ia tak akan mendapatkannya.

Brukh!

Empat mata itu relfeks saling tatap usai bahu mereka bersinggungan. Tumbukan antar bahu itu agak kuat, walau tubuh Dirga tak sampai terhuyung. Atmosfer sekitar lekas terasa dingin seiring dengan cepatnya detik bertambah. Sebelah alis orang itu naik menatap Dirga seolah pertanda bahwa tumbukan antar bahu itu memang ia sengaja.

"Orion?! Woi, dicariin ke mana-mana ternyata masih di sini!"

Dirga mengernyit begitu seruan tersebut mengudara dan Orion pergi dari hadapannya, pergi begitu saja, padahal seharusnya orang itu meminta maaf karena telah menabrak bahunya sekeras tadi. Dirga pun bepaling, kemudian melangkah lebar-lebar menuju kelasnya tanpa banyak memikirkan apa maksud dari tumbukan antar bahu tadi.

"Widih, udah datang."

Dirga meletakkan ranselnya bertepatan dengan Tirta menyapa. Senyumnya terbentuk kecil balas menyapa.

"Gimana, nanti sore?" tanya Tirta sembari merapikan seragamnya.

"Belum tau," lirih Dirga.

"Belum dapat izin?"

"Bukan belum, tapi nggak dapat."

Mendengarnya, Tirta pun menoleh. "Kalau lo nggak ikut, pasti bakal ribet. Lawan kita, 'kan, sisa yang ku—"

"Lunaa! Morning!"

Kepala Dirga dan Tirta refleks menoleh pada sumber suara. Ada Haris di ambang pintu, menghadap ke luar kelas dan tampaknya sedang menyapa Luna.

"Pada kuat-kuat," sambung Tirta merajut obrolan. "Gue yakin bakal kalah kalau kita kekurangan anggota."

"Morning, abang-abang kompleks sekalian." Haris bergabung usai bicara dengan Luna, dan ternyata selang beberapa langkah di belakangnya ada sosok Alwi pula. Mulai duduk, kemudian menatap dua temannya yang terlihat sedang serius. "Ngomongin apa?"

"Agenda nanti sore, Dirga belum pasti ikut."

Haris menatap Tirta sekilas, lantas beralih ke Dirga. "Ya, bukan masalah baru, sih."

Tirta bersandar sambil menggaruk pelipisnya yang entah mengapa tiba-tiba gatal, dalam hati membayangkan betapa kesabarannya diuji jika Bapaknya juga sama keras dengan Bapaknya Dirgantara.

Sesuai peraturan sekolah, bahwa setiap hari Jumat seluruh kegiatan yang ada di Adiwarna akan dibatasi sampai pukul sebelas siang saja, termasuk ekstrakurikuler. Kalaupun ada hal-hal urgen yang harus dikerjakan di Adiwarna, maka kegiatan baru boleh dilangsungkan usai Zuhur. Dengan kenyataan ini, jelas Dirga akan dicurigai oleh Putra jika berdiam di sekolah hingga sore nanti.

UniversumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang