5. Faith

19 2 0
                                    

Tengah malam itu juga aku tidur di rumah Jeno. Sahabatku sejak SMP ini punya rumah pribadi, dibelikan orang tuanya sih. Letaknya di perumahan biasa. Berada di deretan D1 nomor 2, bercat hijau gelap, dan dengan lantai putih polos. Tak terlalu besar namun tidak begitu kecil, Jeno berkata kalau panjangnya 10 meter dan lebar 5 meter. Alasan Jeno dibelikan rumah ini karena kedua orang tuanya adalah seorang karyawan di agensi kecil. Agensi itu ambisius, mengejar popularitas lebih penting daripada karyawannya. Maka dari itu Jeno dibelikan rumah agar mandiri. Sedangkan rumahnya sendiri banyak dengan dokumen-dokumen, spanduk, poster, dan bahkan properti yang akan atau pernah digunakan untuk syuting MV, acara meet & greet, dan sebagainya.

Semalam aku tidur. Entah kenapa tidak masuk dunia mimpi, malah tidur terlelap sampai terbangun sebelum matahari terbit. Jeno masih tidur dengan laptop terbuka, tapi kondisinya mati. Habis nonton apa dia. Di dapur rumah ini tak ada makanan sedikitpun. Ini Jeno makan apa dah kalau gak ada makanan disini. Mana perutku keroncongan, dari kemarin tidak terisi makanan. Aku keluar saja, siapa tahu pagi buta begini ada yang jual makanan.

***

"Oh, darimana?"

Jeno, dengan mata sedikit melek, rambut acak karena digaruk, bertanya begitu.

"Nih, sarapan."

Ku angkat kantong plastik berisi ramyun instan yang sudah termasak di mart. Daripada bingung-bingung, aku beli ramyun di mart 24 jam saja. Toh ya Jeno suka.

Kami berdua makan di ruang depan. Ditemani suara dari televisi yang menempel pada dinding di hadapan kita, Jeno melahap ramyun tadi mumpung masih hangat. Aku juga makan, cuma sambil berselancar di sosial media. Tak jarang Jeno mengomentari apa yang dikatakan pembawa berita di TV, kadang mengganti saluran karena membosankan.

Notifikasi ponsel pintarku penuh dengan Ayah, Yoon, dan beberapa anak buah Ayah. Aku masih ogah kembali ke rumah, mengingat semalam ada snakes yang hendak menculikku. Bahkan, orang itu yang dulu sangat ku percayai. Sialan, orang itu membuat rasa kepercayaanku hilang. Satu-satunya yang bisa ku percayai hanyalah sahabatku.

"Hei, Jeno."
Panggilku sambil bersandar ke sofa.

"Hng? K'npa?"
Jawabnya dengan ramyun di mulut.

"Gimana perasaanmu kalau kehilangan kepercayaan pada orang yang sudah lama kita kenal?"

Jeno mendelik dan menelan ramyun yang dikunyahnya tadi.

"J-Jaemin?"

"Hah? Kenapa?"

"Kamu tidak akan membunuhku 'kan?"

"Ha?! Kamu ngelantur?"

"Soalnya kata-katamu tadi persis di film yang ku tonton semalam."

"Jahahahahaha! Khayalanmu terlalu tinggi!"

"Ya... Ya 'kan siapa tahu gitu."

"Enggak lah. But, serious, bagaimana menurutmu?"

"Hmm, ya, pertama-tama rasa kesal dan kecewa pasti ada. Kedua, mungkin aku akan melupakan orang itu. Lalu, membiasakan diri hidup tanpa kekecewaan."

Jawaban Jeno simpel dan ada benarnya juga. Daripada aku terus memikirkan rasa kecewa, mending lupakan orang itu dan membiasakan diri. Jeno melanjutkan makan, namun rautnya menyiratkan kalau dia ingin tahu kenapa aku tanya begini.

"Jeno, kau tahu keluargaku 'kan?"

"Hm-hm, aku tahu."

"Semalam satu anak buah Ayah yang ku percayai, ternyata salah satu anggota Paku dan Ular. Makanya aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku putuskan untuk pergi dari rumah dan kemari. Apakah aku bisa mempercayaimu, Jeno?"

Jaemin, The Dream Blesser [Book 3] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang