Ia tersenyum. Oh bukan, lebih tepatnya meringis menahan beban yang seketika jatuh menimpa dadanya hingga ia dibuat sesak. Bagaimana mungkin, ia yang setengah mati memupuk rasa pada seseorang yang baru saja berhasil menaklukkan hatinya. Sedang orang yang terpilih menjadi muara dari segala harap, tengah memohon untuk menghapus rasa.
Mengapa ini terasa menjadi tidak adil baginya. Segala perjuangan belum usai, baru saja ia mencoba merangkak namun harus dilumpuhkan. Bisakah ia berteriak sekeras-kerasnya? Agar semua beban segera terberai meninggalkan dadanya.
Dengan langkah gontai, ia meninggalkan mushallah itu. Kembali mencari dan menemui Rani, satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab dengan kepedihan yang ia rasakan. Tapi bukan hanya Rani, ia pun ikut andil di dalamnya. Andai saja ia menolak
"Loh, Ky? Muka lo kenapa? Lo habis nangis? Kenapa? Hei cerita!" Sambut Rani saat melihat ia melihat Rifky bersandar pasrah di dinding
Ia baru saja selesai menjenguk temannya sebagaimana niat awal datang ke rumah sakit ini. Hanya saja ia lebih dulu bertemu Rifky, hingga membuatnya lambat tadi.
Arles hanya menggeleng pelan berusaha menampakkan keadaan baik-baik saja meski air mukanya bertolak belakang
"Jawab woe!" sedikit kesal, Rani memukul lengan Arles
"Ini semua gara-gara kamu..!" Bentak Arles, namun Rani tidak peduli.
"Loh, kenapa?" Bingun, Rani sama sekaki tidak mengerti dengan maksud Arles
"Gua nyesel Ran, nyesel banget udah ketemu lo di sini.. kalau saja bukan karena ulah lo yang bertingkah semaunya di depan Laras. Mingkin dia tidak akan sesakit ini" Arles meremas rambutnya mencoba menahan emosi yang sedikit lagi meledak
Sebelum menjawab, Rani malah tertawa mendemgar ucapan Rifky. Sangat terlihat betapa bodoh sahabatnya yang satu ini.
"Lo nyalahin gue?" Tanya Rani dengan senyum remeh "lo lupa, Laras itu udah nolak lo dari semalam. Sadar Ky, sadar!" Ucapan Rani seketika membuatnya terdiam
"Lo tau kenapa gue ngelakuin itu?" Lanjut Rani tanpa menunggu jawaban "karena itu satu-satunya cara biar lo tau gimana Laras yang sebenernya ke lo" jelasnya
Masih tak ada balasan dari lelaki yang kini telah berjongkok di sebelahnya. Sedikit kesal, ketika berbicara penjang lebar namun tak ada tanggapan sama sekali. Atau sekedar menatap pun tak masalah jika memang bersuara terasa sulit.
"Ya udah, klo lo ga terima. Gue minta maaf tapi asal lo tau gue bener-bener cuma mau bantuin-"
"Tapi cara lo salah!" potong Arles, nada bicaranya sedikit meninggi untuk menghentikan ocehan Rani. Ia sangat malas mendengarnya yang terus berbicara tanpa jeda seperti itu dan selalu menyudutkannya
"Ya udah" tak ingin ribut, Rani memilih pergi menjauh meninggalkan Arles di sana.
Rani tidak perlu khawatir lagi jika sampai ia berbuat hal buruk kepada dirinya sendiri, ini tempat ramai ia tidak akan senekad itu bagaimana pun emosinya. Atau ketika memang ia melakukannya, toh ini juga rumah sakit, tinggal manggil dokter aja buat kirim dia langsung ke kamar mayat.
Tinggallah Arles sendiri ditengah orang-orang yang sedang lalu lalang di depannya. Entah itu pasien dan pembesuk atau perawat yang tengah memeriksa satu-satu kondisi sang pasien. Kini, ia tidak lagi berdiri dan bersandar sebagaimana Rani meninggalkannya tadi. Perlahan tubub tegap itu merosot hingga berjongkok sambil kedua tangannya meremas kuat rambutnya.
Ia merasakan sakit. Tapi entah dibagaian mana, rasanya sangat sulit dijelaskan. Belum lagi alasan yang belum ia temukan, tapi telah membuat dadanya sesak seiring dengan kepalanya yang ingin pecah. Ia ingin marah, tapi kepada siapa? Siapa yang pantas disalahlan atas semua yang telah terjadi?
***
"Aa' ke toilet dulu.. kamu tunggu sini ya, jangan kemana-mana!" Pesan Randi meninggalkan Laras tidak jauh ke toilet
Laras hanya menjawab dengan anggukan. Duduk menunduk sambil memperhatikan dan memainkan kakinya di bawah sana. Ia masih tidak percaya beberapa bulan terakhir, hari-harinya terasa berlalu dengan cepat. Rasanya sehari tidak pernah cukup 24 jam ketika sedang bersama Arles.
Ia tersenyum meski hanya sekedar menarik kedua ujung bibirnya sebentar. Sayang, semuanya harus ia hentikan sekarang, termasuk harapan untuk bersama. Padahal sempat terbersit dalam hati penuh keyakinan bahwa Arles lah yang akan menjadi pendampingnya nanti. Membimbing dan melindunginya.
Belum juga selesai dalam lamunannya, ia sudah kembali tersadar dengan kedatangan Randi. Berjalan pelan menuju ke arahnya sambil menggulung lengan kemejanya.
"Ayo!" Ucap Randi menunggu Laras berdiri dan merangkulnya lalu perlahan melangkah kembali menuju ruang rawatnya
Sepanjang jalan, tak ada bosannya Randi menjaili Laras. Kadang mengeratkan rangkulannya, mencubit hidung atau bahkan menggelitik bahunya hingga mereka juga tak hentinya tertawa.
Sepasang mata sedari tadi menatap dengan air yang sudah menggenang di pelupuknya seakan siap menumpahkan semua kesedihan dan sesak yang bersarang di dadanya. Arles. Ya, dialah yang baru saja di lewati oleh Laras dan Randi. Lelaki yang sedari tadi duduk setengah berjongkok sambil bersandar di dinding dan menyembunyikan kepalanya di antara kedua lututnya.
Namun Laras tak menyadarinya sama sekali. Sebahagia itukah dia sekarang? Pikir Arles dengan senyum simpul menahan perih
'Kamu yang bahagia ya, sama dia' batinnya
Dengan gerakan cepat, tangannya mengusap kasar air mata yang telah membekas dikedua sisi wajahnya. Ia tidak boleh sedih, tidak boleh menangis apalagi karena Laras. Ia harus ikut berbahagia melihat Laras yang bahagia seperti itu. Harus! Kan laki-laki itu bisa menjaga Laras, bukankah tujuannya sama? Jadi menagapa harus bersedih? Doktrinnya pada dirinya sendiri
Setelah menguatkan hatinya, ia tersenyum sebentar, kembali mengingat dan mensyukuri pertemuannya dengan Laras. Sebab tidak semua orang bisa sedekat dirinya pada Laras. Juga tidak semua orang bisa merasakan kasih sayang dan perhatian langsung dari seorang bintang seperti Laras. Meski pada akhirnya ia harus mundur ke tempatnya semula. Ke tempat dan posisi dimana ia belum mengenal Laras.
Melihat Laras yang sudah masuk ke ruangannya. Perlahan Arles berdiri dan melangkah ke sana. Bukan apa-apa, ia hanya ingin melihat Laras sebelum pulang, dan mungkin tidak akan menemuinya dulu untuk beberapa saat. Setidaknya sampai rasanya menghilang atau sedikit memudar. Tak ada batasan waktu, yang pasti ia akan menyembuhkan dirinya hingga rasanya kembali baik-baik saja seperti sebelumnya. Meski itu tidak mungkin. Tapi ia akan terus mencoba semampunya.
Maaf nih manteman, part yang ini pendek banget..
Aku bagi soalnya, kan tidak lama lagi sampe ending.
Part berikutnya udah seneng-seneng, makanya langsung potong sini aja🤭✌
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Takdir
Teen FictionTakdir memang selalu begitu, tidak dapat ditebak. Masih dan akan selalu menjadi rahasia. Mungkin kita sering mendapat kode sebelumnya. Hanya saja kita yang masih kurang paham akan hal itu. Bisa jadi, Allah sengaja mendatangkan padamu orang yang kura...