"Kang, mau kopi atau teh?" tanyaku pada pria yang sudah sah menjadi suamiku sejak kemarin.
"Bebas. Jangan panggil Kang, Aa aja," pintanya.
Setelah menyahut aku pun ke dalam untuk menyajikannya secangkir teh. Teh sajalah, kalau tidak diminum, nanti bisa kuhabiskan sendiri agar tidak mubazir.
"Duduk, Ra," perintahnya setelah kuantarkan secangkir teh.
Kami tidak saling bicara. Aku hanya menemaninya duduk membaca koran sambil melihat orang yang lalu-lalang. Beberapa gadis yang lewat menyapaku sambil tersenyum genit saat menatap Aa Dirga, membuatku risih. Kenapa mereka masih menatapnya seperti itu? Padahal Aa sudah menikah. Bahkan aku, istrinya, sedang duduk bersamanya di teras.
Aa Dirga melipat koran dan meminum tehnya yang langsung tandas dalam beberapa tegukan. "Aa ke pabrik dulu, ya."
Aku ikut berdiri dan menciumi tangannya sebelum suamiku meninggalkan rumah. Dan itulah yang terus terjadi selama kami di sini. Aku membuatkannya teh, menemaninya dalam diam, lalu mengantar kepergiannya ke pabrik atau mengecek kebun.
Tidak banyak percakapan yang terjadi antara kami. Dia sepertinya malas berbicara banyak sementara aku tidak berani sering-sering memulai percakapan. Wajahnya yang terlihat kaku menyurutkan niat setiap kuingin memulai konversasi.
Hingga detik terakhir sebelum meninggalkan rumah, kami masih tidak banyak bicara. Ke mana tawa renyahnya hari itu? Apa luruh bersama biji teh yang jatuh ke tanah? Jika iya, apa harus kupungut satu-satu semua biji yang jatuh hari itu dan mencari di mana tawanya? Ah, Dara, kamu ada-ada saja! Mana ada hal seperti itu.
Rasa penasaranku tidak sempat bertahan lama karena mengingat hari ini aku akan meninggalkan rumah. Air mata tidak hentinya mendesak, padahal sudah berusaha ditahan. Pertahananku akhirnya goyah saat merasakan hangat pelukan Ibu dan Bapak. Walau mereka melepas dengan senyum, tebersit kesedihan dalam tatapan yang tertuju padaku.
"Kalau rindu, jangan sungkan untuk pulang, Teh." Ibu tersenyum lalu menoleh ke arah A Dirga. "Mau kan, Nak, antar Teteh kalau dia mau pulang?"
Aa tersenyum dan mengangguk. "Nanti sesekali Ibu sama Bapak Dirga jemput, main-main ke Bandung," balasnya sambil mencium tangan Ibu.
Ibu mengelus-elus bahu Aa berkali-kali, membuat tubuhnya lama membungkuk menerima perlakuan Ibu. Bapak tidak mau kalah, dia menepuk-nepuk pelan pundak menantunya. Aa malah terlihat seperti anak kandung yang sulit dilepaskan pergi. Semoga saja itu tandanya mereka bahagia, setidaknya satu misi membahagiakan mereka bisa kulaksanakan.
Penduduk desa mengantar kepergianku dan A Dirga. Anak-anak melambai dan berteriak sambil berlarian mengikuti arah SUV menjauh. Dari jendela yang tertutup, aku sekali lagi mengamati desa yang kutinggalkan. Empat puluh kilometer dari kota, tetapi jarak ini terasa begitu jauh karena aku bukan lagi anak gadis Bapak dan Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me + You = Us [TAMAT]
RomanceKarena bakti, Dara yang masih berkuliah menerima perjodohan dengan anak bos orang tuanya, sang juragan teh. Namun, Dirga yang dingin dan terkadang ketus membuat bingung kenapa mau menikah dengannya. Belum lagi, ada adik tiri Dirga yang membencinya s...