26. I'll be Patient, So Please, be Patient with My Love

2.2K 162 0
                                    

Sudah lewat dua puluh empat jam Aa tidak mengabari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah lewat dua puluh empat jam Aa tidak mengabari. Meskipun dari Qareen aku tahu dia berada di Cihayu, tetap saja kuberharap Aa mengirim pesan. Dia seperti sedang menghukum jika begini, semua orang dikabari selain aku.

Namun, tidak mungkin juga rasanya menuntut hanya sekadar mengirim pesan, apalagi dia tidak menghilang, masih diketahui keberadaanya meski dari orang lain. Ah, sudahlah, kukirimi saja pesan, siapa tahu nanti Aa mau membalas.

Kufoto sisi kasur yang kosong, berniat mengirimkannya pada Aa. Kutambahkan pula beberapa kata di sana.

Kasur ini terasa dingin dan terlalu luas tanpamu.

Ingin kukirim pesan tersebut, tetapi rasanya terlalu norak saat dibaca ulang. Bukan hanya norak, pesan itu entah kenapa membuat telingaku memanas ketika mencoba mencerna ulang. Pikiranku sepertinya berkhayal terlalu jauh. Tidak, tidak! pesan seperti ini sebaiknya tidak dikirim jika membuat Aa berpikir yang bukan-bukan tentangku. Aku akan menjadi senorak-noraknya jika nanti diperlukan, tetapi tidak sekarang.

Kuhapus pesan yang masih berada dalam kolom ketikan, membuang hampir semua kata dan memendekkannya.

Sepi tanpamu.

Ini jauh lebih baik. Tidak perlu bicara banyak karena foto kasur yang kosong sudah cukup mewakili. Seharusnya, Aa tahu apa yang kurindukan. Kuanggukkan kepala, yakin akan langkah yang diambil. Semoga, ini membuatnya ingat dan merindukanku, juga ingin pulang. Sayangnya, hingga kantuk merayap, pesan itu masih belum menunjukkan tanda dibaca. Aku tertidur sambil menggenggam ponsel.

Ketika tersadar paginya, aku langsung meraih ponsel yang sudah terlepas dari tangan. Centang telah menjadi biru, tetapi tidak ada balasan apa pun. Desahan napas berat meluncur begitu saja, aku kehilangan semangat.

"Lu, ganggu nggak sih kalau kita rajin-rajin kirim pesan ke orang yang lagi merajuk?" tanyaku pada Lulu di kampus.

"Tergantung orangnya. Ada yang suka, ada yang nggak. Suami merajuk ya?" goda Lulu sambil menjawil lengan.

"Jangan ngeledek atuh, Lu. Bantuin!"

"Tapi ya, Ra, kalau memang pesannya nggak bikin risih pas baca, harusnya aman-aman aja."

"Yang bikin risih yang kayak gimana?"

"Yang isinya ngomel-ngomel, terlalu banyak mengeluh, atau yang maksa-maksa dibalas. Kamu deh, bayangin, kalau lagi bete sama orang nggak sukanya dikirim pesan kayak apa, jangan dibuat. Sesimpel itu."

"Berarti, kalau Dara nggak ngomel, nggak ngeluh, dan nggak maksa minta balas, nggak apa-apa kan?"

Banyak saran dari Lulu, salah satunya mengirimkan kata puitis. Sahabatku ini juga menyarankan menelusuri situs pencarian daring jika tidak yakin kata-kataku akan menggungah hati Aa. Tentu saja, saran itu kutolak mentah-mentah. Aku cukup punya harga diri untuk tidak mempermalukan diri sendiri dengan mencomot kalimat orang lain untuk hal seperti ini. Perasaanku nyata, bukan salinan perasan orang lain.

Me + You = Us [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang