3. A New Different World

2.5K 238 14
                                    

Rencananya, aku ingin melayangkan aksi protes pagi ini karena Aa tidak mengizinkan keluar rumah, tetapi mendadak kehabisan akal saat pria yang kumaksud tidak merasa membuat istrinya kecewa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rencananya, aku ingin melayangkan aksi protes pagi ini karena Aa tidak mengizinkan keluar rumah, tetapi mendadak kehabisan akal saat pria yang kumaksud tidak merasa membuat istrinya kecewa. Kurasa, dia malah tidak merasa bersalah sama sekali. Pagi ini, dia bangun dengan sikap dingin yang sama seperti kemarin-kemarin Aku jadi menerka-nerka, apa yang sebenarnya membuat Aa mau menikah jika sikapnya seperti tidak membutuhkan istri.

Gelagatnya sok cool-nya itu sebenarnya membuatku dongkol. Namun, kesal pun percuma karena dia bahkan tidak merasa ada masalah di antara kami. Yang ada, Aa malah mengajakku turun seolah percakapan semalam tidak pernah terjadi.

Tadi Aa menunjukkan dapur, mendikte tempat-tempat menaruh barang yang harus diketahui lalu memintaku membuatkan teh.

"Nanti dibawa ke atas saja," jelasnya sambil berlalu meninggalkanku sendirian.

Berhubung sudah terlanjur, sekalian saja kubuat sarapan. Aku juga perlu tenaga, setidaknya untuk menghadapi sikap aneh suami. Bagaimana tidak aneh jika mau menikah tetapi tidak peduli? Sudahlah, kurasa aku yang terlalu bodoh dan mau begitu saja menikah karena memikirkan utang Bapak dan Ibu.

"Teh Dara kenapa geleng-geleng sendiri?" Sebuah suara menegur saat sedang menggeleng keras.

"Eh, Mariska. Sudah sarapan?" Gadis manis bermata bulat itu mengangguk.

"Yang lain juga udah sarapan. Kayaknya cuma Teh Dara sama Aa yang belum," lanjutnya.

Jujur saja, pengetahuan yang nyaris nol mengenai manusia bernama Dirgahayu Ismawan menjadikanku seperti orang yang baru pertama menginjakkan kaki ke dapur, linglung. Bukannya tidak bisa masak sama sekali, aku tidak tahu apa yang bisa dan tidak dia makan, atau suka dan tidak suka.

"Aa biasanya sarapan dua buah telur, direbus enam sampai delapan menit gitu. Pokoknya, Aa nggak suka kalau kuning telurnya keras, tapi juga nggak mau kalau masih ada bagian yang cair. Telur ceplok juga gitu." Mariska sepertinya memahami kebingunganku.

"Harus pas, banget?" Mariska mengangguk lagi.

"Dulu Bi Tuti pernah salah bikin, nggak dimakan sama Aa."

"Terus, Aa marah apa gimana?" Kali ini Mariska menggeleng.

"Nggak sih. Cuma setelahnya, Aa turun ke dapur tiap pagi, bikin sarapan sendiri. Sejak itu Bi Tuti nggak pernah lagi bikin sarapan khusus untuk Aa atau nanya Aa mau makan apa."

"Haduh, kalau Teh Dara salah nanti gimana?"

Mariska mengendikkan bahu. "Nggak pernah ada yang bikinkan Aa sarapan sih, setelah kejadian itu, Teh. Jadi Riska juga nggak tahu."

Ucapan santainya bukan malah membuatku tenang, tetapi jadi panas dingin. Jika dalam suasana hati baik saja aku bisa tidak diizinkan keluar, bagaimana jika salah membuatkannya sarapan? Namun, tetap saja kuambil tiga buah telur dan mulai merebusnya.

Me + You = Us [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang