24. New Outlook

2K 157 4
                                    

Di sebuah pantai yang tenang, dikelilingi banyak pohon, dengan iringan debur ombak, aku dan Aa berjalan bersisian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sebuah pantai yang tenang, dikelilingi banyak pohon, dengan iringan debur ombak, aku dan Aa berjalan bersisian. Butir-butir pasir menelusup di antara jemari kaki. Dia menautkan tangan, membuatku merasakan kehangatan. Namun, tautan itu terlepas, berganti dingin yang tiba-tiba merasuk.

Kupicingkan mata, melihat sekitar, dinding dan tirai putih menyambut. Ternyata, yang baru saja kurasa hanya mimpi. Kuperhatikan jemari, membayangkan mimpi yang baru saja menguap. Hangatnya tangan kami yang bertaut terasa nyata.

Langit masih menyisakan pekat, tetapi aku sudah sendirian. Tidak ada Aa di samping. Kuberjalan perlahan, mendekatkan telinga ke pintu kamar mandi, tidak ada bunyi apa pun.

"A?" panggilku, berharap ada sahutan dari dalam. Hening.

Kuperiksa pintu, ternyata tidak dikunci. Aku mendorong daun pintu sambil memejamkan mata, takut melihat sesuatu yang membuat jantungku tidak karuan. Sayangnya, tidak ada siapa pun di sana.

Bergegas kuraih ponsel di nakas, memeriksa apakah ada pesan dari Aa. Nihil. Dia juga tidak ada di balkon. Ke mana Aa pagi-pagi begini? Tanpa kabar pula.

Dikarenakan A Dirga tidak ada, aku turun untuk sarapan bersama. Sesungguhnya hati ini masih malu, tetapi kusadari tidak akan membaik keadaan jika dibiarkan. Aku harus meminta maaf dan memperbaiki hubungan.

"Tumben-tumbenan turun. Kenapa? Mau cari muka?" Baru saja sampai lantai bawah, Meisya sudah membuat geram.

Anggap saja ini memang kesempatannya untuk sepuasnya menyerang, kuabaikan sambil membantu Bi Tuti menyiapkan meja.

"Bi, lihat A Dirga nggak?" bisikku saat berdiri di dekat Bi Tuti. Wanita yang kutanya menggeleng pelan.

"Kenapa, kehilangan suami ya?" Ternyata, telinga Meisya cukup tajam. Padahal, aku yakin sudah berbicara dengan nada sepelan mungkin agar hanya Bi Tuti yang mendengar. "Syukurin! Lagian, perempuan kampung kayak kamu mana pantas jadi istri Aa', ngayal banget sih."

Kukira, diam bisa membuat Meisya puas karena merasa menang. Nyatanya, dia terus mencecarku dengan mulut tajamnya. "Mending kamu pulang kampung aja. Kalau masih di sini, Aa pasti nggak mau pulang," cercanya sambil bersedekap.

Darahku tentu saja mendidih. Meisya semakin menjadi-jadi meskipun sudah kubiarkan. "Sya, apa pun yang terjadi sama Dara dan Aa, itu urusan kami. Dara hargai perasaan kamu buat Aa, tapi tolong, istri Aa itu Dara, bukan Meisya. Lagipula, Dara atau bukan, Dara yakin itu nggak pernah jadi ksmu, Sya."

Kutatap tajam Meisya, memastikan dia paham bahwa bukan ranahnya mengurusi rumah tangga orang lain. Tentu saja aku juga ingin dia sadar, A Dirga bukan seseorang yang bisa diharapkan untuk menjadi tujuan hidupnya karena darah yang sama mengalir di tubuh mereka. Gadis yang berdiri tidak jauh dariku nampak terpaku, semoga saja itu berarti dia mendapat tamparan dan sadar.

Entah apa hubungannya, tetapi napsu makan hilang begitu saja seiring emosi yang baru kutumpahkan. Tidak ingin sia-sia karena sudah turun, kubantu Bi Tuti hingga sarapan tersaji di meja. Setelahnya, aku naik ke atas untuk bersiap-siap kuliah. Syukurlah Pak Mahisa sudah berada di depan saat aku keluar. Dalam perjalanan ke kampus, kukirimkan pesan pada Qareen dengan harapan mendapat kabar tentang suamiku.

Me + You = Us [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang