17. Falling for Feeling

2.1K 179 2
                                    

Tidak ada konversasi selama perjalanan pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ada konversasi selama perjalanan pulang. Setelah membiarkanku menangis sepuasnya dalam pelukan, Aa tidak menunjukkan reaksi apa pun. Aku sepertinya harus menyesali tindakan norakku barusan.

Aku langsung masuk ketika kami tiba di rumah, berusaha berjalan di depan Aa. Entah memang menyadari aku yang kini malu atau memang ingin memberi privasi agar lebih leluasa, dia memilih duduk di balkon begitu kami tiba di kamar. Aa sengaja berlama-lama duduk di sana, masuk ketika aku sudah naik ke tempat tidur, mengarahkan kakinya ke kamar mandi.

"Maaf, baju Aa jadi jorok." Aku berbicara menghadapnya sambil menenggelamkan sebagian muka di dalam selimut.

Aa duduk bersandar sambil memperhatikan ponsel. "Hm," jawabnya.

Singkatnya respons menandakan dia tidak ingin melanjutkan percakapan bukan? Badan kutelentangkan menghadap langit-langit kamar, melihat hingga ke sisi-sisi seperti mencari sesuatu, padahal semuanya putih polos, tidak ada apa pun selain lampu yang terpasang tepat di tengahnya.

"Jangan diulangi, atau terpaksa kuminta Pak Mahisa membuntuti kamu, bahkan sampai ke depan toilet," pungkas Aa tiba-tiba.

Aku ingin menyanggah, melawan. Namun, saat melayangkan pandangan ke arah pria yang masih duduk bersandar itu, aku malah terpaku pada caranya menatapku. Dia khawatir, kali ini aku cukup yakin.

"Dara dikeluarkan dari kelompok untuk presentasi, A." Matanya sendu sesaat, lalu kembali pada tatapan dingin yang biasa dia tunjukkan. "Dara sedih, kesal. Dan jujur saja, Dara marah sama Aa karena merasa ini gara-gara Aa," cicitku.

Aku kembali membenamkan sebagian wajah dalam selimut, berharap pria di sampingku menerima kata-kata yang baru saja kulontarkan dan mengerti. Sempat terlihat kilatan di matanya, kupikir Aa akan marah. Namun, dia menghela napas panjang.

"Lain kali, kamu bisa langsung pulang. Marah aja seperti terakhir kali."

Bukankah sudah terbukti percuma aku mengeluarkan semua emosi? Jangankan mendapatkan tindak lanjut, direspons saja tidak. masalah seolah menguap dari memorinya saat tidur dan bangun seperti tidak ada yang terjadi.

"Aku nggak ngomong apa-apa bukan berarti aku nggak ngapa-ngapain," sambungnya, seperti bisa membaca pikiranku.

"Telat, A. Dara udah nggak punya kelompok sekarang." Aku berbicara sangat pelan, antara takut dia marah tetapi ingin didengarkan.

"Dara minta maaf kalau sudah bikin khawatir. Dara tidur dulu ya, A, selamat malam." Kali ini, aku mengatakan dengan intonasi normal, memilih menutup percakapan kami.

Keesokan harinya, aku meminta maaf pada Pak Mahisa sebelum ke kampus. Pak Mahisa mengangguk pelan. Aku jadi tidak tega melihatnya, sosok tuanya mengingatkanku akan Bapak.

Aku juga menyempatkan menelepon Qareen karena lupa menghubungi dan membalas pesannya.

"It's okay. Dirga semalam kasi tau Ferdi kalau kamu udah di rumah. Nanti aku jemput ya, pulang kuliah."

Me + You = Us [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang