Aku duduk menunggu di ruang keluarga, ingin memastikan keadaan Riska. Ketika dokter yang memeriksa sudah pergi, bergegas kudekati kamar Riska. Sayangnya, langkahku ditahan oleh Meisya.
"Mau apa? Kan udah aku bilang jangan dekat-dekat Riska lagi," hardiknya sinis.
Aku ingin menerobos, tetapi Mama Wina menarikku kembali ke ruang keluarga. "Ra, Mama nggak mau nyalahin kamu nggak selamatin Riska. Tapi tolong, untuk sementara biarkan Riska."
"Ma, Dara nggak bermaksud biarin Riska. Dara ... Dara sebenarnya nggak bisa berenang, Ma," isakku.
"Udah tahu nggak bisa berenang, masih aja sok-sokan mau temani Riska. Teh Dara pasti sengaja kan?" Wajah Meisya merah padam.
"Nggak, kok. Dara udah nolak, tapi ..."
"Tapi apa? Teh Dara mau salahin Riska?" Suara Meisya semakin meninggi. "Mau jadikan Riska alasan? Riska hampir mati gara-gara Teh Dara!"
"Tapi, Dara ..."
"Untuk sementara, kamu jaga jarak aja dulu sama Riska," sela Mama Wina.
"Tapi, Ma−"
"Tolong hargai perasaan Mama."
Aku tertunduk lemah, tidak kuasa terus memaksa. Walaupun merasa Mama Wina berlebihan, tetap saja faktanya Riska hampir tenggelam karenaku. "Tapi Riska nggak apa-apa kan, Ma?"
Mama Wina mengangguk lalu berdiri, menandakan tidak ingin ada percakapan lebih jauh. Sementara Meisya memandang dengan wajah sinis juga tatapan penuh kemenangan.
Aku pun naik ke kamar dengan langkah gontai. Seandainya tadi berkuat menolak, Riska pasti baik-baik saja. Mungkin, sekarang kami sedang mengobrol dan berkelakar di kamarnya.
Kuseret langkah ke balkon, berdiri bertumpu pada pagar. Badanku lemah, pikiran berkecamuk hingga kepala rasanya mau pecah. Bulir mengalir begitu saja dari mata, terus mengalir sampai terdengar raungan.
Entah berapa lama aku menangis karena air mata tidak kunjung berhenti. Setelah berkali-kali kuseka dan berusaha mengatur napas, akhirnya sang kelenjar bekerja sama. Kutekan mata dengan telapak tangan, berharap tekanan tersebut membuat wajahku terlihat lebih baik. Mataku pasti merah, kelopaknya membengkak.
Aku bermaksud berbalik dan mencuci muka ketika sudah lebih tenang. Betapa kagetnya aku melihat Aa duduk di kursi santai.
"Aa dari kapan di situ?" tanyaku dengan suara sumbang dan terputus-putus.
"Kamu datang aku udah di sini."
"Kapan Aa pulang?"
"Waktu kamu lagi sama Mama Wina sama Meisya di ruang keluarga."
"Aa lihat Dara di sana tapi langsung naik?"
Pria yang kutanya mengangguk. "Kenapa?"
Kesedihanku sekonyong-konyong berubah menjadi amarah. Dia datang ketika aku sedang 'diadili' oleh Mama Wina dan Meisya, bahkan sudah di sini sebelum aku menangis. Jangankan membela, menghibur saja tidak. Aa malah, menjadikanku tontonan selama berada di balkon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me + You = Us [TAMAT]
RomanceKarena bakti, Dara yang masih berkuliah menerima perjodohan dengan anak bos orang tuanya, sang juragan teh. Namun, Dirga yang dingin dan terkadang ketus membuat bingung kenapa mau menikah dengannya. Belum lagi, ada adik tiri Dirga yang membencinya s...