Sejak kejadian semalam, mau tak mau terpikirkan olehku pernikahan ini. Benarkah jalan yang sudah kupilih?
A Dirga jelas suami yang tidak mungkin kuabaikan, tetapi keluarga Ismawan juga sudah menjadi keluarga. Aku teringat akan pesan Ibu malam sebelum akad. "Teh, menikah itu menyatukan keluarga. Jadi, sayangilah keluarga suamimu nanti seperti kamu menyayanginya."
Masalahnya, Aa sendiri tidak terlihat menyayangi keluarganya. Dia malah sering membuatku galau dan akhirnya harus memilih salah satu. Rasanya, ingin kukeluarkan otak atau hati Aa, membuang bagian itu agar bisa menjadi penyayang dan tidak membuatku berada di posisi sulit lagi. Ah, Aa bikin pusing!
"Kamu kenapa?" tanyanya melihatku berguling-guling di kasur.
Cepat-cepat aku duduk hanya untuk menemukan pemandangan yang tidak menyehatkan bagi jantung. Aku lupa kalau Aa baru keluar dari kamar mandi.
"Nggak kok, A, nggak apa-apa." Aku bergegas masuk ke kamar mandi. Malangnya, jempol kaki kiri membentur kaki nakas saking buru-burunya turun. Aku menggigit bibir sambil memegangi jempol yang sakit.
"Makanya, jalan pakai mata beneran, jangan mata kaki," seloroh Aa santai.
Seandainya dia tahu penyebab aku tidak bisa menggunakan mata dengan baik. Namun, percuma juga kusampaikan, paling hanya dianggapnya angin lalu.
"Iya, A," jawabku akhirnya seraya melangkah cepat ke kamar mandi.
Sebenarnya, aku ingin bercerita dan meminta pendapat Lulu, tetapi kuurungkan mengingat sarannya yang terlalu ekstrim. Kalau kubilang Aa membatasi gerak-gerik dan membuat berdilema, mungkin dia akan kembali mengajakku menyewa kamar bersama. Jika kukatakan jantung ini menjadi tidak beres tiap melihat Aa sehabis mandi, bisa-bisa dia malah menyuruhku membiasakan diri dengan terus memperhatikan atau malah 'menyerang' Aa. Dan yang lebih parah tentu saja Lulu akan menagih sampai semua sarannya terlaksana. Aku bergidik membayangkannya.
Seperti biasa, aku ke kampus menggunakan ojol. Kali ini, penjemputku laki-laki berkacamata yang sangat wangi. Jika menilik parasnya, kurasa dia tidak lebih tua dari Aa. Tumben. Biasanya, pagi-pagi begini selalu Bapak-bapak yang menjemput.
Tanpa berfirasat apa-apa, aku naik di jok belakang motor setelah mengenakan helm. Akang ojol ini ternyata ramah dan banyak bicara. Dia menanyakan perihal kampus dan bercerita mengenai adiknya yang baru masuk kuliah. Saat aku membayar, dia tersenyum manis, menunjukkan cekungan halus di kedua pipi.
Hampir saja aku lupa dengan helm yang bertengger di kepala. Begitu sadar, aku kembali ke halaman depan kampus dan melihatnya menunggu di tempat yang mudah terlihat. Kukembalikan helm, dia sempat-sempatnya bercerita mengenai kebiasaan pikunnya. Driver itu pun pergi setelah sekali lagi menebarkan senyum yang tentu saja kubalas dengan senyum ramah.
Aku tidak tahu jika itu adalah terakhir kalinya aku menggunakan jasa ojol. Sebelum makan malam, Aa tiba mengabarkan jika dia sudah mempekerjakan supir pribadi untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me + You = Us [TAMAT]
RomanceKarena bakti, Dara yang masih berkuliah menerima perjodohan dengan anak bos orang tuanya, sang juragan teh. Namun, Dirga yang dingin dan terkadang ketus membuat bingung kenapa mau menikah dengannya. Belum lagi, ada adik tiri Dirga yang membencinya s...